Translate

Kamis, 30 Januari 2020

TEKNOLOGI HASIL IKUTAN TERNAK DASAR

TEKNOLOGI HASIL IKUTAN TERNAK DASAR

PENDAHULUAN

Kulit dalam bidang peternakan merupakan hasil samping dari suatu ternak, tetapi masih mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Kulit dapat diawetkan lalu disamak dan kemudian menjadi bahan dasar untuk membuat berbagai keperluan sehari-hari. Kulit telah digunakan sebagai bahan dasar pembuat sandang sudah sejak dari 7000 tahun yang lalu sampai dengan sekarang. Zaman dahulu, kulit digunakan sebagai selimut yang dapat melindungi tubuh manusia dari hawa dingin. Selain sandang dan selimut, kulit juga digunakan sebagai bahan pembuat pelana, perisai, karpet, layer pada kapal, alas kaki, alat tulis sampai dengan kerajinan tangan lainnya, bahkan juga digunakan sebagai bahan makanan.
Kulit yang beraneka ragam dan bersifat tahan lama bisa didapatkan dengan ketrampilan pada saat proses pengawetan sampai penyamakan. Proses-proses ini sudah lebih dulu dipelajari dan diterapkan oleh manusia purbakala pada zaman dulu dengan metode yang primitif dimana mereka memerlukan bahan-bahan dari alam. Garam misalnya, mineral ini digunakan manusia purba dalam pengawetan kulit. Ilmu-ilmu tersebut secara turun-temurun sampai pada manusia modern sekarang ini. Zaman sekarang manusia dapat mengolah kulit baik proses pengawetan maupun proses penyamakan dengan metode yang modern. Proses pengolahan kulit ini membutuhkan waktu yang lama dengan dibutuhkan ketelatenan yang tinggi, sehingga harga kulit olahan mahal.
            Praktikum teknologi hasil ikutan ternak dasar ini bertujuan agar mahasiswa mampu mengetahui metode pengawetan kulit menggunakan garam tabur dan kualitas kulit awet yang dihasilkan, mengetahui metode pengawetan kulit secara pickling dan mempersiapkan kulit untuk proses penyamakan, mengetahui cara pengujian kekuatan tarik kulit dan persentase kemuluran kulit dan mengetahui perbedaan kualitas kekuatan tarik dan kemuluran kulit samak nabati dan krom, mengetahui cara pembuatan Poultry Meat Meal (PMM) dan menguji kelarutannya, dan mengetahui cara hidrolisis protein menggunakan enzim.

PENGAWETAN KULIT METODE DIGARAM DAN DIKERINGKAN

     Kulit termasuk organ tubuh ternak atau hewan hidup, dimana tersusun atas berbagai macam jaringan maupun sel. Satu sel dengan sel yang lain saling bekerja sama dan memiliki peran dan fungsi tertentu. Kulit secara histologi adalah merupakan organ tubuh yang paling brat, dimana pada manusia memiliki berat sektar 16% dari berat tubuh dan pada ternak hanya berkisar 10%. Presentase ini cukup bervariasi pada beberapa jenis ternak, yakni pada ternak sampi berkisar 6 sampai 8%, domba 12 sampai 15% dan kambing 8 sampai 12% dari berta tubuh (Soeparno et al., 2011).
            Pembagian kelompok kulit menurut Said (2000), dapat dibedakan menjadi dua yaitu kulit yang berasal dari ternak besar dan diberi istilah dengan hide dan yang berasal dari ternak kecil diberi istilah skin. Sewaktu masih hidup kulit menutupi seluruh permukaan tubuh kecuali bagian kornea mata (conjunctiva) dan kuku atau teracak. Kulit secara umum berfungsi sebagai alat ekskresi, penyaringan sinar ultraviolet maupun sebagai pengatur suhu tubuh (thermostat layer). Fungsi kulit lainnya adalah untuk pelindung ternak atau hewan dari pengaruh luar, pelindung jaringan yang ada di bawahnya, pemberi bentuk pada tubuh ternak, penyimpan cadangan makanan, pengatur kadar garam dan air pada cairan tubuh, produsen vitamin D serta sebagai alat gerak khusus pada ikan maupun burung.
Menurut Fahidin dan Mulisch (1999), prinsip pengawetan kulit yang umum digunakan adalah pengeringan dan penambahan bahan pengawet. Adapun prinsip pengawetan kulit adalah untuk mengurangi kadar air kulit (65%) sedemikian rupa hingga kadar air kulit berkurang dari batas minimum kadar air yang diperlukan untuk hidup dan tumbuhnya bakteri pembusuk.
            Kulit hewan adalah bahaan yang mudah membusuk. Sifat ini menunjukkan pentingnya proses pengawetan. Penyebab utama dari kebusukan ini adalah mikroorganisme,  yaitu bakteri-bakteri pembusuk. Syarat utama kulit yang telah diawetkan ialah kulit tersebut harus dengan mudah dikembalikan mendekati keadaan segar dengan perendaman. Perendaman merupakan pekerjaan pertama yang dilakukan pada proses penyamakan. Dengan  alasan ekonomis maka pengawetan kulit sebaiknya tidak memakan terlalu banyak biaya dan mudah dilakukan (Prihandoko, 2009)
            Prinsip pengawetan yang lazim dilakukan menurut Prihandoko (2009), adalah penggaraman. Kira-kira sepertiga produksi kulit dunia menggunakan prinsip penggaraman. Negara-negara penghasil kulit, umumnya didaerha sub-tropis dimana sinar matahari tidak mencukupi untuk digunkan sebagai proses pengawetan. Garam-garam yang baik adalah mengandung Ca dan Mg tidak lebih dari 2% dan besar kristal mendekati homogen.
            Menurut Stanley (1993), pengawetan dengan cara penggaraman secara luas dibagi menjadi dua metode yaitu penggaraman kering (dry salting) dan penggaraman basah (wet salting). Proses pengawetan penggaraman merupakan metode pengawetan yang paling mudah dan efektif dan merupakan metode pengawetan yang telah lama dilakukan. Reaksi osmosis dari garam mendesak air keluar dari kulit hingga tingkat dimana kebanyakan bakteri tidak dapat tumbuh.
Menurut Fahidin dan Muslich (1999), prinsip pengawetan kulit adalah mengurangi kadar air kulit (65%), sedemikian rupa hingga kadar air kulit kurang dari batas minimum kadar air yang diperlukan untuk hidup dan berkembangnya bakteri pembusuk. Lebih lanjut dijelaskan oleh Syaiful (2002), pengawetan dengan garam secara luas dapat dibagi menjadi dua metode yaitu penggaraman kering (dry-salting) dan pengawetan garam basah (welt-salting). Garam yang digunakan dalam proses penggaraman memiliki fungsi sebagai pengambil air dari kulit sehingga menghalang-halangi pertumbuhan bakteri pembusuk. Jumlah garam yang banyak dapat menyebabkan plosmolysa sel-sel mikroorganisme, dan zat klorida di dalam garam adalah racun bagi mikroorganisme.
Untari (1999), mengemukakan bahwa mikroorganisme yang ada pada kulit akan berkembang delapan jam setelah pemotongan, maka kulit sebaiknya diawetkan maksimal delapan jam setelah dipotong. Pengeringan yang terlalu cepat juga dapat mengakibatkan lapisan luar akan mengering lebih dulu dan berubah jadi gelatin, sehingga menghalangi penguapan air dari lapisan kulit bagian dalam. Apabila ini terjadi, maka lapisan kulit bagian dalam tidak dapat kering dan akan menimbulkan pembusukan pada kulit mentah yang sudah diawetkan. Kerusakan fisik kulit dapat terjadi pada waktu merentangkan, bila regangannya terlalu kuat maka pada waktu pengeringan kekuatan regangannya akan meningkat sehingga dapat merusak/memutuskan serat-serat terutama dibagian kulit yang tipis. Sebaliknya kelambatan waktu pengeringan, akan memberi kesempatan tumbuhnya mikroorganisme, dan apabila sampai terjadi pembusukan maka kondisinya tidak dapat diperbaiki lagi (bulu menjadi rontok) sehingga kulit menjadi kurang bernilai .

MATERI DAN METODE

Materi
            Alat. Alat-alat yang digunakan dalam pengawetan kulit dengan metode digaram dan dikeringknan antara lain: ember, timbangan, gunting, gelas ukur, sarung tangan, tali rafia dan palu.
            Bahan. Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum pengawetan kulit dengan menggunakan digaram dan dikeringknan antara lain: kulit kaki sapi, plastik, garam dan air.

Metode
            Alat dan bahan yang akan dipergunakan disiapkan terlebih dahulu kulit kaki sapi segar  ditimbang kemudian dihilangkan lemak dan sisa-sisa daging (fleshing) dan kemudian ditimbang lagi. Kulit kaki segar setelah difleshing direndam di dalam larutan garam jenuh selama satu hari satu malam. Kulit ng telah selesai direndam dibentangkan pada bingkai dan ditaburi dengan garam kristal halus. Kulit kaki sapi yang telah ditaburi dengan garam siap dijemur dibawah sinar matahari. Penjemuran yang efektif dilakukan pada pukul 09.00 sampai 16.00 pada posisi yang miring membentuk sudut 45 ͦ  selama 4 hari. Kulit kaki sapi yang telah selesai dijemur selama 4 hari diamati perubahan fisik yang terjadi.



HASIL DAN PEMBAHASAN
            Berdasarkan hasil pelaksanaan pengawetan kulit dengan metode digaram dan dikeringknan didapatkan data hasil pengamatan adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Pengawetan kulit dengan metode digaram dan dikeringkan
Parameter
A
B
Jenis kulit
Berat kulit awal
Berat kulit setelah di fleshing
Jumlah garam
Jumlah aquades
Berat kulit akhir
Lama kulit kering
Perubahan fisik :    - warna       
                                   -  Bau
                        - Tekstur
Perubahan lain
Kulit kaki sapi
450 gr
340 gr
22 °BE
500 ml
250 gr
3 hari
Coklat
Amis
Kasar, lemas
Lebih kering, garam sudah melebur semua
Kulit kaki sapi
450 gr
350 gr
20 °BE
500 ml
200 gr
3 hari
Putih kekuningan
Bau kulit
Kasar kaku
-
           
    Berdasarkan pengamatan yang dilakukan terhadap pengawetan kulit dengan digaram dan dikeringknan diperoleh hasil sebagai berikut: sampel A dan sampel B secara berurutan jenis kulit yang digunakan yaitu kulit kaki sapi, berat kulit awal yaitu 450 gr, berat kulit setelah difleshing secara berurutan 340 gr dan 350 gr, jumlah garam kedua sampel secara berurutan yaitu 220Be dan 200Be, jumlah aquades kedua sampel 500 gr, berat kulit akhir secara berurutan yaitu 250 gr dan 200 gr, lama kulit kering kedua sampel yaitu 3 hari, perubahan fisik secara berurutan yaitu warna coklat dan putih kekuningan, bau kedua sampel amis dan bau kulit, tekstur secara berurutan kasar lemas dan kasar kaku, dan perubahan lain hanya terdapat pada sampel A yaitu lebih kering dan garam sudah melebur semua.   
Metode yang digunakan dalam praktikum acara pengawetan kulit dengan metode digaram dan dikeringknan sebenarnya tidak sepenuhnya menggunakan metode pengawetan digaram dan dikeringknan, melainkan juga menggunakan perendaman dengan larutan garam jenuh. Kombinasi antara keduanya dirasa sangat tepat dalam proses pengawetan kulit. Rangkaian kegiatan yang dilakukan meliputi fleshing, perendaman dengan larutan garam jenuh, pembentangan, penaburan dengan garam-garam kristal dan pengeringan.
Fleshing merupakann proses pemisahan kulit dengan lemak yang maupun sisa daging. Menurut Fahidin dan Mulisch (1999), proses fleshing bertujuan untuk menghilangkan sisa-sisa daging (subcutis) dan lemak yang masih menempel atau melekat pada kulit. Proses selanjutnaya adalah perendaman dengan larutan garam jenuh selama sehari semalam. Perendaman terebut bertujuan untuk memanfaatkan tekanan osmotik dari larutan garam jenuh, agar kadar air kulit dapat keluar secara maksimal.
Penaburan garam cara melebarakan kulit pada sisi wadah bekas perendaman atau dengan cara menaburkan garam kristal pada saat selesai dibentangkan. Menurut Prihandoko (2009), garm yang bisa digunakan dalam proses pengawetan kulit yaitu NaCl atau garam dapur dan garam alkali (NaCl 50% dan Na2SO4 50%). Garam yang digunakan juga harus memenuhi syarat antara lain mempunyai butiran sebesar 1 mm, kadar Ca dan Mg tidak boleh lebih dari 2% dan bebas dari besi (Fe). Menurut Said (2009), penaburan garam pada bagian yang berdaging dapat ditaburi garam dengan proporsi kira-kira 30% dari berat basah (berat setelah perendaman).
Pengawetan kulit dengan cara kombinasi penggaraman dan pengeringan yaitu kulit setelah dibersihkan dengan lemak, darah, sisa–sisa daging maupun kotoran yang melekat, selanjutnya direndam dalam cairan garam (NaCl) jenuh dengan kadar kepekatan garam berkisar antara 20 sampai 24°BE selama kurang lebih 1 sampai 2 hari. Tingkat kepekatan garam tidak boleh berada dibawah 20°BE untuk mencegah berkembangnya bakteri–bakteri tertentu yang kemungkinan dapat tumbuh dalam suasana garam (Said, 2012). Kejenuhan garam yang digunakan saat praktikum kelompok sampel A yaitu 22°BE sedangkan kelompok sampel B 20°BE. Perbandingan hasil kedua kelompok dengan literatur telah sesuai. Proses pengeringan yang dilakukan selama praktikum pengawetan kulit menggunakan metode digaram dan dikeringknan adalah dengan menggunakan sinar matahari secara langung selama 3 hari.
Menurut Prihandoko (2009), cara pengeringan dalam pengawetan kulit dapat dibedakan menjadi 2 cara yaituyaitu pengeringan secara alami dan pengeringan buatan. Pengeringan secara alami yaitu dengan memanfaatkan sinar matahari secara langsung. Pengeringan buatan yaitu pengeringan yang menggunakan udara pengeringan yang dipanaskan atau tanpa pemanas. Saleh (2004) menambahkan posisi paling baik untuk penjemuran dengan sinar matahari adalah posisi sudut 45 o dan untuk menjaga kulaitas kulit penjemuran dilakukan antara pukul 09.00 sampai 11.00 WIB dan pukul 15.00 sampai 17.00 WIB serta diangin-anginkan antara pukul 11.00 sampai 15.00 WIB pada tempat yang teduh.
Pietoyo (1991) mengungkapkan bahwa kulit hasil awetan dengan menggunakan cara penggaraman kering maka luasnya mengalami penyusutan dibandingkan dengan luas ketika masih segar. Selain itu, keuntungan pengawetan dengan penggaraman kering adalah kulit relative mudah disegarkan kembali dalam proses soaking sehingga dalam proses selanjutnya pada tahap penyamakan akan memudahkan penetrasi bahan penyamak ke dalam kulit sehingga kualitas samakan relative lebih baik dibandingkan dengan cara pengawetan dengan pengeringan biasa.
Menurut Fahidin (1999), metode pengawetan dengan penggaraman dapat menurunkan kadar air kulit segar dari 60% menjadi 20%. Menurut Purnomo (1990), warna kulit segar lebih baik (terang), dari pada kulit yang dikeringkan. Tekstur kulit yang menjadi kasar menurut Fahidin (1999), disebabkan selama proses pengeringan dapat terjadi pengerasan protein sehingga dapat mempengaruhi tekstur kulit. Berdasarkan literatur yang telah disebutkan tersebut, ciri-ciri fisik kulit yang telah diawetkan dengan digaram dan dikeringknan sudah sesuai. Hal tersebut menandakan bahwa proses pengawetan kulit dengan menggunakan metode penggaraman telah berhasil.
Menurut Untari (1999), kualitas kulit dipengaruhi oleh bermacam-macam faktor, yaitu pemberian pakan, lingkungan (antara lain temperatur), kebersihan kandang, penyakit terutama penyakit kulit seperti kudis, kutu, dan lain-lain,  hewan itu sendiri, yaitu ras dan bangsa, cara pemotongan dan cara pengawetan
Menurut Djojowidagdo (1999), pengawetan kulit dengan metode digaram dan dikeringknan memiliki beberapa keuntungan antara lain selama waktu pengeringan kulit tidak lekas menjadi busuk sekalipun pengeringannya memerlukan waktu yang relative lama misalnya pada saat musim penghujan; kualitas kulit juga menjadi lebih baik daripada yang dikeringkan saja karena serat-serat kulit tidak melekat satu sama lain; kulit sangat baik untuk disamak terutama dalam proses perendaman (soaking) yang tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama. Adapun kekurangan pengawetan kulit metode digaram dan dikeringknan adalah biaya pengawetan yang dibutuhkan menjadi lebih banyak bila dibandingkan dengan metode pengeringan saja.

KESIMPULAN

     Berdasarkan pengamatan yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa pengawetan kulit dengan metode digaram dan dikeringkan ini bertujuan agar kulit tidak mudah rusak oleh aktivitas bakteri pembusuk. Fungsi menggunakan garam untuk menyerap air dari dalam kulit. Kejenuhan garam yang digunakan saat praktikum berada dalam kisaran normal yaitu kelompok sampel A yaitu 22°BE sedangkan kelompok sampel B yaitu 20°BE. Perubahan fisik kulit setelah mendapatkan penjemuran selama 4 hari yaitu sampel A warnanya berubah menjadi coklat, berbau amis, dan tektur kasar lemas sedangkan sampel B warnanya putih kekuningan, bau kulit, dan teksturnya kasar kaku. Perubahan fisik tersebut dapat dipengaruhi oleh akibat penjemuran dan fungsi garam yang ditaburkan.
Daftar Pustaka
Djojowidagdo, S. 1999. Histologi Sebagai Ilmu Dasar dan Perannya dalam pengambangan Iptek Pengolahan Kulit. Program Pascasarjana. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Fahidin.1999. Ilmu dan Teknologi Kulit. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Fahidin dan Mulisch.1999. Ilmu dan Teknologi Kulit (sapi).Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Pietoyo, S. 1991. Teknik Penyamakan Kulit untuk Pedesaan. Peberbit Angkasa. Bandung
Prihandoko, A.2009. sifat kulit fisik samak krom domba gemuk dan domba ekor tipis aawet garam. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Purnomo.1990.pengetahuan dasar teknologi pengolahan kulit. Akademi teknologi kulit. Departemen Perindustrian Yogyakarta. Yogyakarta.
Said, M.I. 2000. Isolasi dan Identifikasi Kapang Serta Pengaruhnya Terhadap Sifat Fisik dan Struktur Jaringan Kulit Kambing Pickle serta Wet Blue dengan Perlakuan Fungisida Selama Penyimpanan. Tesis. Program Studi Ilmu Peternakan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Said, M.I.2012. ilmu dan teknologi oengolahan kulit.universitas hasanudin. Makasar.
Saleh, E. 2004. Teknologi Pengolahan Susu dan Hasil Ikutan Ternak. Fakultas Peternakan. Universitas Sumatera Utara.
Syaiful. A. 2002. Kualitas fisik dan kimia domba samak krom dengan metode pengawetan penggaraman.Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Soeparno, R.A. Rihastuti, Indratiningsih, dan S. Triatmojo. 2011. Dasar Teknologi Hasil Ternak. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Stanley, A. 1993. Preservation of Rawstock. Leather The International Journal.195(4664) Dec.1993:23-30
Untari, S. 1999. Pengulitan, Pengawetan dan Penyamakan Kulit Kelinci. Disampaikan pada pelatihan budidaya dan pengolahan daging dan kulit kelinci. Ciawi-Bogor 7 Agustus 1999. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Barang Kulit, Karet dan Plastik. Yogyakarta

PENGAWETAN KULIT METODE PICKLING

TINJAUAN PUSTAKA

Kulit bulu terutama kulit kambing atau domba merupakan hasil samping dari pemotongan hewan yang ada di rumah pemotongan hewan (RPH) maupun pemotongan diluar RPH. Hasil samping ini dapat dimanfaatkan sehingga memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya pendapatan perkapita, maka kebutuhan barang barang dari kulit bulu juga meningkat, apalagi dengan semakin meningkatnya desain dan teknologi perkulitan dan keinginan kembali ke alam menjadikan barang kulit semakin banyak diminati (Hasyimi et al., 1997).
Teknologi pengawetan yang paling umum adalah dengan pengeringan di bawah sinar matahari, penggaraman dan pemberian racun kulit (Sumarmi et al., 1998). Lebih lanjut dikatakan bahwa pengeringan merupakan teknik pengawetan yang paling sederhana dan murah, namun intensitas panas dan waktu pengeringan kurang diperhatikan. Pengeringan dan intensitas panas yang tinggi akan menyebabkan kerusakan kolagen, sehingga dapat menyebabkan kolagen rusak, maka kulit akan menjadi kaku, kurang elastis (Untari et al., 2004).
Pengolahan kulit berdasarkan penelitian meliputi kulit yang masih segar direndam dalam air kapur selama 3-5 hari dengan perbandingan setiap 150 kg kulit basah adalah air 300% dan kapur 10%. Air kapur yang baru pada umumnya dapat membengkakkan kulit, tetapi daya penghilang bulunya kurang. Sebaliknya air kapur yang sudah sering digunakan cepat melepaskan, tetapi  tidak dapat membengkakkan kulit. Sehingga lebih baik jika dipakai campuran antara setengah air kapur baru dengan setengah air kapur lama. Setelah perendaman dalam air kapur ini cukup, bulu-bulu mudah dilepas. Kulit diletakkan di atas meja beam, kemudian dikerok dengan pisau, lalu dibuang bulunya hingga bersih dan menyeset daging yang ada pada kulit (fleshing). Untuk memperoleh kulit yang dibutuhkan, maka kulit dibelah dengan ketebalan tertentu menggunakan mesin belah (splitting). Kulit ini merupakan lapisan corium yang banyak mengandung kolagen (Sudardjo et al., 1994).
Proses penyamakan kulit adalah proses pengolahan kulit binatang melalui beberapa tahapan proses sehingga kulit binatang yang masih utuh dirubah menjadi kulit yang siap digunakan untuk pembuatan produk-produk hilir seperti sepatu, dompet, ikat pinggang, jok kursi dan sebagainya. Kulit binatang (domba, sapi, kerbau) sebelum disamak, pada umumnya digarami dan dijemur di bawah sinar matahari. Kulit yang telah kering, selanjutnya dilakukan proses penyamakan secara bertahap dengan menggunakan bahan kimia. Proses penyamakan ini mencakup: perendaman (soaking), pengapuran (liming), pencabutan / penghilangan bulu (dehairing), penghilangan kapur (deliming), buang protein (bating), penghilangan lemak (degreasing) dan pengasaman (pickling) dan penyerutan (shaving) (Pawiroharsono, 2008).


MATERI DAN METODE

Materi
            Alat. Alat-alat yang digunakan dalam pengawetan kulit dengan metode digaram dan dikeringknan antara lain: ember, timbangan, gunting, gelas ukur, sarung tangan, dan pisau.
   Bahan. Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum pengawetan kulit dengan menggunakan digaram dan dikeringknan antara lain: kulit kambing segar, plastik, garam, air, Na2S, kapur, Za, Na-bisulfat, H2SO4, orophon, amonium sulfat dan kertas pH.

Metode
Kulit kambing segar yang akan diawetkan ditimbang sebgai berat awal atau berta segar, kemudian dimasukkan ke dalam proses pengapuran (liming) yaitu dengan mencampurkan 300% air, 2% Na2S, dan 6% kapur lalu diremas-remas selama 1,5 jam. Proses limingyang telah selesai kemudian dilanjutkan pada proses delimingatau penghilangan sisa-sisa kapur. Proses deliming dilakukan dengan cara mencampurkan bahan-bahan 60% air, Za 1%, Na-bisulfat 1%dan H2SO4 0,75% dan diremas0remas selama 1 jam. Kulit kemudian dilakukan penghilangan lemak dan daging atau fleshing dan pencabutan bulu atau unhiring, kulit siap untu dilakukan proses selanjutnya yaitu proses bating. Bating adau proses pengikisan protein dilakukan dengan cara pencampuran 100% air, orophon 1%, dan amonium sulfat 4% kemudian dicuci bersih dan ditimbang. Pengasaman atau pickling dilakukan dengancara mencampur air 60%, NaCl 6%, dan H2SO4 1,25%, formulasi bahan-bahan tersebut dilakukan sebanyak 2 kali agar bisa merendam seluruh bagian kulit. Proses terakhir yaitu pengujian pH menggunakan pH meter.


HASIL DAN PEMBAHASAN

Metode pengawetan kulit selain menggunakan metode digaram dan dikeringknan juga dapat menggunakanasam (pickling). Menurut Gumilar et al. (2010), proses pickling atau pikel mempunyai peran penting dalam tahap prosesing kulit. Proses pikel mempunyai peran fungsi antara lain sebagai salah satu cara pengawetan kulit yang tidak dapat segera diproses (penyamakan). Pengawet dengan cara pikel dapat meningkatkan daya simpan kulit sampai 1 tahun.
Proses pengawetan kulit dengan pickling diawali dengan proses soaking. Soaking atau perendamn berfungsi untuk mengeluarkan kotoran yang melekat pada kulit dan melarutkan protein. Menurut Said (2012), tujuan dilakukannya tahap perendaman yaitu mengembalikan kadar air yang hilang selama pengawetan, mengembalikan sifat-sifat kulit mentah dan membersihkan kulit dari garam pengaawet, dan kotoran seperti darah, lemak, dan sisa-sisa kotoran.
Kulit setelah direndam, masuk ke dalam proses limingatau pengapuran. Liming bertujuan untuk menghilangkan zat-zat kulit yang tidak diperlukan, terutama globular-globular lemak yang ada di dalam serat-serat kolagen. Menurut Purnomo (1992), tujuan dari proses pengapuran yaitu menghilangkan epidermis, menghilangkan kelenjar-kelenjar lemak dan keringat, menghilangkan zat-zat kulit yang tidak diperlukan, dan memudahkan pelepasab lapisan subcutis dari lapisan kulit.
Proses liming yng telah selesai, kemudian dilanjutkan dengan proses deliming atau penghilangan kapur. Tujuan dari proses deliming yaitu menghilangkan kapur dan menetralkan pH. Menurut Purnomo (1992), tujuan proses deliming yaitu menurunkan pH kulit, karena kulit dari proses pengapuran biasanya mempunyai pH yang tinggi yang disebabkan karena sisa kapur yang masih ada di dalam kulit.
Fleshing adalah proses penghilangan sisa-sisa lemak dan daging. Tujuan dari fleshing adalah untuk menghilangkan sisa-sisa daging (subcutis) dan lemak yang masih menempel. Bating yaitu proses pengikisan protein. Proses ini dilakukan untuk menghilangkan protein non kolagen seperti keratin dan elastin. Definisi lain yang sedikit berbeda menurut Judoamidjojo (1991), bating yaitu proses pelumatan, adalah untuk membuka atau melemaskan kulit lebih sempurna menggunakan enzim. Bahan yang digunakan adalah orophon atau enzilen, yaitu bahan paten yang dibuat dari enzim pankreas dan garam-garam amonium sebagai aktivator. Meskipun definisi bating menurut Judoamidjojo sedikit berbeda dengan hasil praktikum, tetapi maksud dan fungsi bating adalah sama.
Berdasarkan hasil praktikum pengawetan kulit menggunakan metode pickling didapatkan proporsi bahan yang digunakan selama praktikum adalah sebagai berikut:
Tabel 2. Macam bahan dan proporsi penggunaan dalam pickling
Parameter
A
B
Jenis kulit
Berat kulit segar
Liming : air (300%)
               Na2S (2%)
                CaCO3 (6%)
Berat setelah fleshing dan unhiring
Berat kulit
Deliming : air (60%)
                   Za (1%)
                 Na Bisulfat (1%)
                  H2SO4 (0,75%)
Bating : air (100%)
              Orophon (1%)
              Ammonium sulfat (0,4%)
Berat kulit
Pickling : air (60%)
                 NaCl (6%)
                Air (30%)   
                 H2SO4 (1,25%)
pH
Kulit kambing
195 gram
584 gram
3.9 gram
11.7 gram
170 gram

170 gram
102 gram
1.7 gram
1.7 gram
1,275 gram
170 gram
1.7 gram
0,68 gram
150 gram
90 gram
9 gram
45 gram
1.875 gram
2,25
Kulit kambing
140 gram
120 gram
2,8 gram
8,4 gram
120 gram

120 gram
72 gram
1.2 gram
1.2 gram
0.9 gram
120 gram
1,2 gram
0,48 gram
120 gram
72 gram
7,2 gram
36 gram
1.5 gram
2
            Berdasarkan pengamatan yang dilakukan terhadap pengawetan kulit dengan metode pickling diperoleh hasil kulit yang digunakan yaitu kulit kambing, pH akhir setelah dilakukan beberapa prosedur yaitu pada sampel A  yaitu 2.25  dan sampel B yaitu 2. Pengawetan dengan metode pickling melalui beberapa proses yaitu liming atau pengapuran, deliming atau penghilangan kapur, fleshing atau penghilangan daging lemak, dan bathing.
Menurut Said (2012), bahan yang dibutuhkan pada saat pengapuran yaitu air pelarut 400%, Ca(OH)2 55%, Na2S 4%, dan dispersing agen 0,25%. Fungsi Na2S untuk memutuskan ikatan sulfida pada akar rambut dan penggunaan kapur berfungsi untuk memutuskan kalenjar-kalenjar yang ada pada kulit. Menurut literatur tersebut proporsi bahan yang digunakan berbeda dengan yang digunakan selama praktikum, karena pada literatur penggunaan bahan dalam skala industri dengan prosesnya dilakukan di dalam drum besar yang tertutup dan diputar. Bahan yang digunakan dalam proses liming selama praktikum sedikit karena dilakukan dalam skala laboratorium dan prosesnya dilakukan secara manual.
Tahap deliming menggunakan bahan-bahan seperti air 60%, Za 1%, Na-bisulfat 1%, dan H2SO4 0,75%. Proporsi bahan tersebut sama seperti proses liming yaitu seper sekian persen dari berat kulit. Menurut Said (2012), bahan yang digunakan dalam proses deliming yaitu air 200%, amonium bisulfat 1%, dan asam formiat 0,5%. Menurut Handayani (2002), Za dalam proses deliming berfungsi sebgai buffer atau pengatur pH, NA bisulfat untuk mengikat kapur, dan penambahan H2SO4 untuk menambah suasana asam atau menurunkan pH setelah proses liming.
Bahan-bahan yang digunakan selama proses bating yaitu air 100%, orophon 1%, dan amonium sulfat 0,4%. Menurut Said (2012), bahan yang digunakan dalam proses bating yaitu HCl, H2SO4, yang telah diencerkan dengan perbandingan 1:10, asam boraks, NH4Cl 0,7% dan enzim-enzim seperti lipase. Perbedaan bahan yang disebutkan dalam literatur dan bahan yang digunakan selama proses praktikum adalah enzim yang digunakan yaitu orophon. Menurut Lutfie (1997), enzim orophon berfungsi untuk mendegradasi protein dan menyabun lemak.
Proses teakhir setelah dilakukan bating yaitu proses pickling itu sendiri. Bahan yang digunakan dalam proses pikling yaitu air 60%, NaCl 6%, dan H2SO4 1,25%. Menurut Said (2012), bahan yang digunakan dalam proses pickling yaitu air 125% sebagai medium pelarut, Chromosal B 8 sampai 10%, Natrium formiat 0,5%, dan soda kue 2%. Keseluruhan proses pickling memerlukan watu 8 sampai 10 jam. Bahan yang digunakan selama praktikum dengan bahan yang disebutkan dalam literatur sedikit berbeda, karena dalam literatur adalah penggunaan bahan untuk skala industri agar penggunaan bahan dan proporsi bahan efektif dan efisien dalam menghasilkan pengawetan kulit yang baik.
pH kulit setelah proses pickling yaitu untuk kelompok A 2,25 dan kelompok B yaitu 2. Menurut Soeparno et al. (2001), pH yang diharapkan dalam proses pickling yaitu sekitar 2 sampai 3. Tujuan akhir dari proses pengawetan menggunakan pickling adalah menurunkan pH serendah mungkin dimana kondisi tersebut tidak memungkinkan mikrobia pengrusak kulit dapat tumbuh. pH kulit untuk kelompok A dan kelompok B sudah sesuai dengan literatur.
Zat asam yang digunakan pada proses pikel menyebabkan kulit menjadi asam sehingga berada pada kondisi ideal untuk bereaksi dengan zat penyamak, selain itu pemberian asam dapat memecah ikatan – ikatan silang diantara fibril – fibril kulit sehingga memperluas ruang antara fibril dan polipeptida di dalam kulit yang menyebabkan kulit siap diisi oleh zat penyamak. Penggunaan asam sulfat yang dikombinasi dengan asam formiat menunjukkan perbedaan hasil, semakin banyak asam formiat yang diberikan menyebabkan penurunan pH kulit jadi, sebagai akibat dari peningkaan konsentrasi asam formiat di dalam larutan pikel. Asam formiat sebagai salah satu asam lemah memiliki sifat penetrasi yang lambat tetapi dapat terpenetrasi dengan baik kedalam jaringan kulit secara merata. Hal inilah yang menyebabkan tingkat pH kulit menjadi lebih rendah.(Gumilar et al., 2010).
           




KESIMPULAN

          Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada pengawetan kulit kambing dengan menggunakan metode pickling atau asam bertujuan untuk mengetahui cara dan hasil pengawetan kulit dengan asam. pH akhir yang dihasilkan berada dalam kisaran normal yaitu pada sampel A  yaitu 2.25 gram dan sampel B yaitu 2 gram Proses perlakuan sebelum dilakukan pickling sesuai dengan literatur yaitu liming, deliming, fleshing, dan bathing. Pengapuran dilakukan dengan menambahkan air, Na2S , kapur dan kemudian dilakukan peremasan. Pembuangan kapur (deliming) bertujuan untuk menurunkan PH kulit, karena pengapuran biasanya mempunyai PH yang tinggi yang dikarenakan sisa kapur yang masuk masih terdapat pada kulit. Fleshing bertujuan untuk menghilangkan sisa – sisa daging (subkutis) dan lemak yang masih melekat pada kulit. Bating bertujuan untuk membuka atau melemaskan kulit lebih sempurna secara enzimatis.















Daftar Pustaka

Gumilar, I., Wendr, S., dan Eka, W. 2010. Pengaruh Penggunaan Asam Sulfat (H2SO4) Dan Asam Formiat (HCOOH) Pada Proses Pikel Terhadap Kualitas Kulit Jadi (Leather) Domba. Jurnal ilmu ternak. Juni 2010, Vol 10 No. 1 1-6
Handayani. 2002. Dasar Teknologi Penyamakan Kulit. BBKP. Yogyakarta.
Hasyimi S, Budi Santoso H .1997. Pengaruh Variasi Pemakaian Garam dan Sellatan P Terhadap Penyerapan Glutaraldehid Didalam Kulit. Majalah Barang Kulit, Karet dan Plastik, Vol.XII No.24. Hal 30 - 34.
Judoamidjojo, M. 1991. Ternak Untuk Penyamakan Kulit Untuk Pedesaan. Angkasa. Bandung.
Lutfie, M. 1997. Teknologi Penyamakan Kulit Kelinci. Petunjuk Teknis Pengolahan Kulit BBKP. Yogyakarta.
Pawiroharsono, Suyanto. 2008. Penerapan Enzim Untuk Penyamakan Kulit Ramah Lingkungan. Peneliti di Pusat Teknologi Bioindustri Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. J. Tek. Ling. Vol. 9 No. 1 Hal. 51-58 Jakarta, Januari 2008 ISSN 1441-318X.
Purnomo. 1992. Penyamakan Kulit Kaki Ayam. Kanisius. Yogyakarta.
Said, M.I. 2012. Ilmu Dan Teknologi Pengolahan Kulit. Universitas Hasanudin. Makasar.
Soeparno, R.A., Rihastuti, Indratiningsih, dan Suharjono T. 2001. Dasar Teknologi Hasil Ternak. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Sudardjo, Purnomo E, dan Wazah.1994. Teknologi Penyamakan Kulit 2, BP Panca Usaha, Yogyakarta.
Sumarmi, Koesnan, B. Oetoyo Dan S. Untari.1998. Pedoman Pengawetan Kulit Mentah.Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Untari, S., Dwi Setyowati Dan Endang Sri Jatmikowati. 2004. Penyamakan Kulit Bulu/fur dan Kulit Glace dari Kulit Kelinci dengan Menggunakan Reduced Chrome. Bull. of Anim. Sci. 28(2). A Publication of Faculty of Animal Husbandry, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.





ACARA III
PENGUJIAN KUALITAS KULIT SAMAK

TINJAUAN PUSTAKA
            Menurut Mustakim et al. (2010), proses penyamakan pada kulit dimaksudkan untuk memperoleh kulit yang tidak mudah rusak dan kuat. Penyamakan kulit umumnya dapat dilakukan dengan beberapa cara, ditinjau dari bahan penyamak yang digunakan yaitu 1). Penyamakan nabati dengan bahan penyamak yang berasal dari tumbuh-tumbuhan yang mengandung penyamak nabati (tannin) misalnya kulit akasia, segawe, tengguli, mahoni, gambir, teh, buah pinang dan mangga. 2). Penyamak mineral dengan bahan penyamak mineral misalnya khrom dan formalin. 3). Penyamak minyak dengan bahan penyamak berasal dari minyak hewan seperti minyak ikan hiu.
            Hasil pengujian kekuatan fisik kulit dalam kegiatan penelitian dimanfaatkan untuk mengevaluasi kualitas produk kulit tersamak. Namun demikian, hasil evaluasi tersebut sangat bergantung dari tujuan kita melakukan proses penyamakan, apakah kulit yang disamak tersebut akan digunakansebagai bahan untuk membuat pakaian (garmen) atau kulit tersebut akan diaplikasikan sebagai bahan penunjang mesin industri. Hal ini mengandung pengertian bahwa kulit yang akan digunakan sebagai bahan penunjang mesin industri tentunya dibutuhkan kekuatan fisik yang lebih tinggi dibandingkan dengan kulit yang akan diaplikasikan sebagai bahan pakaian (Said, 2012).
            Kekuatan tarik (tensile strength) hasil uji yang diukur dalam satuan kg/cm2 luas penampang melintang kulit, dimana pengujiannya dengan menarik sampel kulit dari dua arah. Hasil pengujian ini biasanya dimanfaatkan untuk mengevaluasi produk kulit yang biasanya sering mendapatkan tarikan secara fisik seperti ikat pinggang. Kemuluran (elongated at break), hasil pengujiannya ditentukan dalam persen. Nilai kemuluran produk tersamak adalah nilai yang menunjukkan seberapa besar terjadinya pertambahan panjang suatu produk kulit dari panjang awal saat mulai ditarik hingga akhirnya kulit yang ditarik tersebut putus. Hasil pengujian ini biasanya dimanfaatkan untuk mengevaluasi produk kulit yang memerlukan sifat mulur diantaranya sarung tangan, sepatu, dan tali.
            Suhu kerut ialah suhu tertentu yang mengakibatkan contoh kulit mengalami pengerutan. Serabut-serabut kolagen atau kulit mentah akan mengkerut lebih kurang sepertiga atau seperempat dari panjang semula jika dipanaskan pada medium air pada suhu tertentu. Pemendekan serabut kolagen disebabkan hilangnya atau berubahnya rantai ikatan silang molekul kolagen. Suhu kerut sampel yang berasal dari bermacam-macam bagian pada kulit yang sama berbeda antara 2 sampai 3 oC (Soeparno et al., 2001).


MATERI DAN METODE

Materi
            Alat. Alat-alat yang digunakan dalam acara pengujian kualitas kulit samak antara lain: tensile strength meter, jangka sorong atau skin thickness micrometers, tatah untuk membuat pola pada sampel. Penggaris, gunting, shringkage meter, gelas beker, kompor pemanas, dan termometer.
            Bahan. Bahan yang digunakan dalam acara pengujian kualitas kulit samak adalah sampel kulit samak nabati dan kulit samak krom serta beban atau batu pemberat.

Metode
Uji kekuatan tarik dan kemuluran
            Sampel dibuat pola seperti gambar 1. Sebelum diuji sampel kulit diukur ketebalannya dengan menggunakan jangka sorong pada 3 bagian. Sampel kulit kemudian di jepit pada pesawat tensile strength meter dari scopper, dengan penjepit mempunyai selisih 5 cm. Skala yang menunjukkan beban maksimum dari angka pertambahan panjang diatur pada angka nol. Pesawat dijalankan sampai sampel kulit terputus dengan menambah beban sedikit demi sedikit. Berat beban yang dibutuhkan sampai sampai sampel kulit menjadi putus ditimbang dan angka pertambahannya sampel di catat.
 


                                                                    5 cm
                                      A                             B                            C                              3 cm

           

           
                                                                      11 cm
Gambar 1. Sampel kulit untuk uji tarik dan kemuluran
Uji suhu kerut
            Sampel kulit dibuat seperti gambar 2, dipasang pada alat yang disebut shrinkage meter, yaitu dengan mengepit kedua ujung sampel tersebut. Setelah suhu air pada tabung pengujian mencapai 500 C, sampel kulit bersama penjepitnya digeser masuk kedalam tabung kemudian dinaikkan 300 C setiap menit sampai sampel kulit memendek atau mengkerut. Skala pengerutan diamati apabila tanda pada benang yang mula-mula tepat pada skala sudah bergeser kekiri maka suhu kerut sudah tercapai.
9 cm


1,2 cm

7,5 cm
Gambar 2. Sampel pengujian suhu kerut dan kerut maksimal
Uji kerut maksimal
            Sampel kulit dari menguji suhu kerut dibiarkan dalam larutan sampai suhu larutan mencapai 1000C, kemudian dididihkan dalam larutan tersebut selama 15 menit. Setelah itu sampel kulit diangkat dan diukur panjang akhir dari sampel. Kerut maksimal diukur sebagai pengerutan kulit yang disebabkan oleh pemanasan dengan air mendidih selama 15 menit yang dinyatakan dalam presentase. Rumus yang digunakan untuk mencari presentase kerut maksimal adalah
            Presentase kerut maksimal =  x 100%


HASIL DAN PEMBAHASAN

            Penyamakan kulit bertujuan untuk preservasi terhadap efek kontaminasi bakteri pembusuk dari kulit serta mempersiapkan kulit untuk dapat diolah ke proses selanjutnya. Menurut Mustakim et al.  (2010), proses penyamakan kulit bertujuan untuk mengubah kulit mentah yan mudah rusak pleh aktivitas mikroorganisme, reaksi kimia, dan atau kerusakan fisik menjadi kulit tersamak yang lebih tahan terhadap pengaruh-pengaruh tersebut. Penyamakan kulit secara umum dapat dibagi menjadi empat, yaitu: penyamakan nabati, minyak, sintetik, dan mineral.
            Sifat kulit samak dengan penyamak nabati dan krom mempunyai sifat yang berbeda. Menurut Untari (2004), kulit yang disamak dengan bahan penyamakan nabati akan terjadi hubungan antara tanin dengan protein kulit yang akan berikatan dan membentuk kulit tersamak, maka kulit menjadi padat. Karena kepadatan kulit tersebut, kulit menjadi lebih kaku dan plastis, sehingga kekuatan tariknya rendah dibandingkan dengan kulit yang tersamak mineral dan sintetis. Kulit yang disamak dengan penyamak nabati juga mempunyai sifat beffing eject yang baik, mempunyai daya serap air yang tinggi, warna coklat muda, kulit kaku tetapi proses penyamakannya sederhana. Sifat kulit samak dengan penyamak krom menurut Layla dan Aminah (2004), kulit mempynuai sifat yang tahan lama, tahan kelembaban serta tahan panas. Sifat krom lainnya yang sangat menguntungkan khususnya bagi proses pewarnaan, karena memungkinkan mewarnai segala macam bulu dengan terlebih dahulu dikerjakan dengan krom.
Kualitas kulit samak dapat diketahui dengan berbagai uji, seperti uji kekuatan tarik dan kemuluran, uji suhu kerur dan kerut maksimal. Menurut SNI (1998), syarat kulit sampi tersamak antara lain, uji kimia yang meliputi uji kadar air, kadar zat terlarut, uji jumlah abu, kadar Cr3O3, derajat penyamakan dan pH. Uji fisik meliputi tebal penyamakan, kekuatan tarik, kemuluran, kekuatan jahit dan ketahanan bengkok. Uji organoleptik meliputi keadaan kulit, cat, dan bagian daging.
            Uji kekuatan tarik dan kemuluran yaitu besarnya beban yang dibutuhkan unruk menarik sampel kulit berukuran panjang 5 cm, dan lebar 1 cm serta kecepatan penarikan 25 m/s sampai kulit tersebut terputus. Definisi kekuatan tarik dan kumuluran menurut Purnomo (1999), kekuatan tarik merupakan besarnya gaya maksimum yang dibutuhkan untuk menarik kulit sampai kulit tersebut putus. Kemuluran merupakan presentase panajang kulit pada saat ditarik sampai  putus dibagi dengan panjang kulit awal dikali 100%.
            Berdasarkan pengamatan dan uji kekuatana tarik dan kemuluran sampel kulit samak krom dan nabati adalah sebagai berikut:
Tabel 3. Kekuatan tarik dan presentase kemuluran
Parameter
Samak krom
Samak nabati
Jenis kulit
Kulit sapi
Kulit sapi
ketebalan kulit (3 bagian) (cm)
0,023
0,009
Lebar kulit (cm)
3
3
Luas penampang kulit (A)
0,069cm2
0,027cm2
Beban yang dibutuhkan (kg)
1,3
1,596
Gaya yang dibutuhkan (kgx10) (F)
13
15,96
Kekuatan tarik (F/A)
188,41
591,11
Panjang awal (cm)
5
4,5
Panjang akhir (cm)
6,7
5,5
Presentase kemuluran (%)
34
22,22
Berdasarkan praktikum yang dilakukan kekuatan tarik dan kemuluran diuji dengan alat tensile strength meter. Kulit samak krom dan nabati berasal dari kulit sapi. Beban yang dibutuhkan untuk memutuskan sampel A dan sampel B secara berurutan yaitu 1,3 Kg dan 1,596 Kg. Data tersebut menyatakan bahwa kulit dengan samak krom mempunyai kekuatan tarik yang lebih rendah dibandingkan kulit samak nabati. Perbedaan pada samak krom dan nabati yang terlihat jelas yaitu warna, dimana warna nabati coklat tua sedangkan krom berwarna abu-abu kehitaman.
            Faktor yang mempengaruhi kekuatan tarik menurut Prayitno et al. (2005), adalah berat kulit, kenaikan bobot kulit dapat menurunkan sifat kekuatan tarik kulit samak. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi bobot kulit segar antara lain spesies, jenis kelamin dan umur, semakin tua umur ternak semakin besar bobot kulit segarnya. Kekuatan tarik kulit samak yang tinggi akan diikuti dengan kemuluran yang rendah sampai batas tertentu, setelah kemuluran kekuatan tarik akan diikuti dengan kenaikan kemuluran.
Presentase kemuluran kulit samak krom lebih tinggi dari persentase kemuluran kulit samak nabati. Persentase kemuluran samak krom yaitu 34% dan samak nabati 22,22 %. Anonim (2013), menyatakan bahwa standar nilai kemuluran kulit tersamak maksimal 30%.  Berdasarkan data hasil praktikum apabila dibandingkan dengan literatur yang ada dalam presentase kemuluran kulit samak krom berada diatas kisaran normal dan samak nabati berada pada kisaran normal. Suprapto (1993), menambahkan bahwa faktor yang berpengaruh terhadap kemuluran kulit adalah kandungan protein kulit terutama serabut kolagen dan komposisi kimia yang terdapat dalam kulit. Putusnya serabut kolagen akan mengurangi kemampuan kulit menahan beban tarikan,sehingga kekuatan tarik turun tetapi nilai kemuluran naik, komposisi kimia berpengaruh terhadap kemuluiran kulit
   Menurut Djojowidagdo (1999), hasil penyamakan kulit dengan krom menghasilkan kulit yang kaku, elastis, dan tebal. Kulit dengan hasil ekstraksi dari tumbuhan sehinggga menghasilkan kulit yang kaku dan kuat. Hasil penyamakan nabati biasanya menghasilkan warna coklat sampai kehitaman. Mustofa dan Pratiwi (1994), menyatakan bahwa kecenderungan terjadinya penurunan nilai kekuatan tarik disebabkan belum sempurnanya proses penyamakan sehingga antara bahan penyamak dengan serabut belum stabil. Kelembaban udara ruang penyimpanan menjadi salah satu faktor penentu dalam menghasilka tinggi rendahnya nilai kekuatan tarik kulit tersamak. Kelembaban udara yang tinggi mendorong terjadinya pemutusan rantai polipeptida dan pembengkakan kolagen. Serabut kolagen yang membengkak akan merubah struktur kulit sehingga kekuatan tarik kulit rendah.
            Data hasil uji suhu kerut dan kerut maksimal hanya dilakukan pada kulit samak dengan penyamak nabati adalah sebagai berikut:
Tabel 4. Hasil uji suhu kerut dan kerut maksimal
Parameter
Samak nabati
Jenis kulit
Kulit kambing
Panjang awal (cm)
8,7
Panjang akhir(cm)
4,8
Suhu kerut (ºC)
85
Suhu kerut maksimal (ºC)
100
Pengujian suhu kerut kulit dilakukan dengan memasukan kulit sampel dalam larutan gliserin 75% dan 25% air, selanjutnya dipanaskan. Suhu gliserin dinaikkan secara bertahap dan dicatat suhu terjadinya pengerutan kulit (Fitriyanto et al. 2004). Metode yang digunakan saat praktikum sudah sesuai dengan literatur yang ada. Suhu kerut sampel kulit yaitu 85°C dan presentase kerut maksimal kulit samak berkisar 44,8%. Menurut Soeparno et al. (2001), suhu kerut dan kerut maksimal kulit samak berkisar dari 80 sampai 105oC sedangkan presentase pengerutan sebesar 30%. Berdasarkan literatur yang telah ada suhu kerut kulit samak masih sesuai, akan tetapi presentase kerut maksimal belum sesuai karena lebih besar dari literatur. Fitriyanto et al., (2011), menyatakan bahwa faktor yang berpengaruh terhadap pengukuran suhu kerut adalah alat pemanas dan kandungan protein kulit terutama serabut kolagen dan komposisi kimia yang terdapat dalam kulit.






KESIMPULAN

Berdasarkan hasil praktikum yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa kulit samak krom mempunyai kekuatan tarik yang lebih rendah dibandingkan dengan samak nabati. Presentase kemuluran kulit yang dihasilkan pada kulit samak krom lebih tinggi dibandingkan samak nabati. Hasil praktikum apabila dibandingkan dengan literatur yang ada presentase kemuluran kulit samak krom berada diatas kisaran normal dan samak nabati berada pada kisaran normal  yaitu samak krom 34% dan samak nabati 22,22 %. Suhu kerut dan kerut maksimal kulit samak saat praktikum yaitu 85 oC dan 100 oC berada pada kisaran normal sesuai dengan literatur, akan tetapi presentase kerut maksimal kulit nabati pada saat praktikum berada diatas kisaran normal sebesar 44,8%.

















Daftar Pustaka
Anonim. 2013. SNI 06-6121-1999 Pengawetan Kulit. Jakarta.
Djojowidagdo, S. 1999. Histologi Sebagai Ilmu Dasar dan Perannya dalam pengambangan Iptek Pengolahan Kulit. Program Pascasarjana. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Fitriyanto, Nanung A., Suhardjono T., Yuni E. 2004. Pengaruh Protease Apergillus sp pada Proses Soaking Kulit Domba Lokal Terhadap Parameter Kualitas Fisik Kulit Samak. Laporan Penelitian. Fapet UGM. Yogyakarta.
Layla, Z. Dan Aminah, S. 2004. Penyamak Kulit Bulu Domba dengan Metode Krom Dalam Upaya Pemanfaatan Hasil Samping Pemotongan Ternak. Prosiding Temu Teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian Balai Penelitian Ternak. Bogor.
Mustakim, Aris S.W. dan A.P. Kurniawan. 2010. Perbedaan Kualitas Kulit Kambing Peranakan Etawa (PE) dan Peranakan Boor (PB) yang Disamak Krom. Jurnak Ternak Tropika vol. 11 No. 1 38-50
Mustofa, H dan V. S. Pertiwi. 1994. Pengaruh Cuaca terhadap Perubahan Sifat Tegangan Putus dan Perpanjangan Putus Berbagai Jenis Kulit. Penelitian. Majalah Barang Kulit, Karet, dan Plastik.
Prayitno, Davinchi A.C. dan Wasito S. 2005. Pengaruh Rhizopus sp Sebagai Agensia Bating Terhadap Sifat Kekuatan Tarik dan Kemuluran Kulit Garmen dan Domba. Majalah Kulit, Karet dan Plastik Vol. 21 No. 1. Yogyakarta.
Purnomo. 1999. Pengetahuan Dasar Teknik Penyamakan Kulit. Kanisus. Yogyakarta.
Said, M.I. 2012. Ilmu Dan Teknologi Pengolahan Kulit. Universitas Hasanudin. Makasar.
SNI. 1998. Kualitas Sapi atau Kerbau Samak Kombinasi Krom dan Nabati, Mutu dan Cara Uji. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta.
Soeparno, Indratiningsih, S. Triatmojo, S. dan Rihastuti. 2001. Dasar Teknologi Kulit. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Suprapto, S., Pertiwi., dan Widhiati. 1993. Pengaruh Perbedaan Lama Pengawetan terhadap Kekuatan Tari dan Kemuluran Kulit Kaki Ayam Pedaging Samak Krom. BPKKP. Yogyakarta.
Untari, S. 2004. Penyamakan Kulit Kelinci Dengan Teknologi Tepat Guna Sebagai Bahan Kerajinan Kulit Dan Sepatu Dalam Menunjang Agribisnis Ternak Kelinci. Lokakarya Nasional Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Kelinci. Yogyakarta.


Lampiran Perhitungan:


% Kerut maksimal    = (Panjang awal – Panjang akhir) x 100%
                                                       Panjang awal

                                    = (8,7 – 4,8) x 100%
                                                     8,7
                                    = 44,82%
                                   
Kulit samak Krom :

% Kemuluran           =
                                    = (6,7-5) x 100%
                                                        5
                                    = 34%
Kulit samak Nabati :

% Kemuluran           =
                                    =
                                    = 22,22%








ACARA IV
PEMBUATAN POULTRY MEAT MEAL (PMM)

TINJAUAN PUSTAKA
Poultry meat meal merupakan bahan pakan dengan kualitas protein yang tinggi yang dihasilkan secara khusus sebagai hasil tambahan dari ternak ayam (tidak termasuk bulu). Bentuk yang sempurna dari asam amino dan asam lemak membuatnya cocok untuk ditambahkan pada makanan ternak ayam dan babi. Dengan kandungan protein yang sangat tinggi dan mudah dicerna. Poultry meat meal juga cocok untuk ditambahkan pada makanan kering bagi hewan piaraan dan makanan untuk ternak ayam dan babi yang masih muda.
Analisis kandungan nutrien pada PMM pada tabel berikut
Tabel 5. Kandungan nutrien PMM
Kandungan
Persentase
Protein
90.0%
Lemak
13.0%
Serat Kasar
2.0%
Kalsium
5.76%
Fosfor
2.77%
Abu
14.0% - 18.0%
Pepsin Digestibility (in vitro pepsin)
90.0%
(Anonimus, 2013).
Bahan baku pakan ternak adalah salah satu media pembawa HPHK yang masuk. Bahan baku pakan ternak ini terdiri dari meat bone meal (MBM), poultry product meal (PPM), feather meal (FM), hydrolized feather meal (HFM) dan blood meal. Bahan baku pakan ternak ini diimpor dari berbagai Negara antara lain Australia, USA, New Zealand dan Canada. Meat Bone Meal adalah produk asal hewan yang diperoleh dari daging dan tulang sapi dengan cara mendaur ulang dan dihaluskan. Bagian tubuh hewan tidak semuanya dapat dijadikan tepung tulang seperti darah, rambut, kuku, tanduk, potongan kulit dan isi perut. Pada MBM ini kadar kalsiumnya sangat tinggi, hal ini menunjukkan bahwa pada MBM ini terdapat penambahan kalsium dari sumber lain selain tulang. Poultry Product Meal merupakan komoditas tinggi protein yang digunakan sebagai komponen utama dalam beberapa makanan hewan peliharaan. PPM dibuat dari penggilingan bersih yang berisi bagian-bagian ayam yang gagal produksi yang dipotong dan diolah dengan anti oksidan segera setelah pemrosesan untuk menjamin stabilitas ternak. Dan berisi bulu yang tidak dapat dihindari dalam pengolahan bagian-bagian unggas. PPM ini berwarna coklat muda keemasan, dengan bau ternak ayam segar. Feather meal dan hydrolized feather meal atau yang disebut dengan tepung bulu terbuat dari bulu unggas yang dihidrolisis dibawah panas dan tekanan tinggi dan kemudian digiling. Meskipun tingkat total nitrogen cukup tinggi, ketersediaan hayati nitrogen ini mungkin rendah (Kementerian Pertanian, 2011).





Materi dan Metode

Materi
            Alat. Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan PMM antara lain pisau, mangkok, loyang, timbangan, gunting, gelas ukur, kertas saring, kayu penubuk, autoklaf, oven dan saringan.
            Bahan. Bahan yang digunakan dalam pembuatan PMM yaitu kepala ayam dan akuades.

Metode
            Pembuatan PMM. Kepala ayam yang akan digunakan sebelumnya dicuci dan dipisahkan kulit dan lemak dari daging dan tulang, kemudian ditimbang. Kulit kepala yang telah selesai dibersihkan dimasukkan ke dalam autoklaf selama 1 jam. Kepala ayam yang telah selesai di autoklaf ditimbang dan dihancurkan setelah itu dimasukkan ke dalam oven pada suhu 50oC selama 24 jam. Kepala yam kemudian ditumbuk halus dan disaring dengan penyaring. Hasil saringan kemudian diambil 1 gram untuk dilakukan uji kelarutan.
            Uji kelarutan. Uji kelarutan dilakukan dengan sebelumnya menibang kertas saring terlebih dahulu (w1). Sampel PMM yang telah ditimbang sebanyak 1 gra dilarutkan dengan 10 ml akuades kemudian disaring dengan kertas saring. Kertas saring dan endapan ditimbang (w2). Kertas saring dan endapan kemudian dimasukkan ke dalam oven suhu 105oC selama 24 jam, kemudian ditimbang kembali (w3). Hasil kelarutan PMM ditentukan dari rumus:
            % kelarutan =


HASIL DAN PEMBAHASAN

Poultry Meat Meal merupakan bahan pakan dengan kualitas protein yang tinggi yang dihasilkan khusus dari hasil tambahan ternak ayam (tidak termasuk bulu). Definisi Poultry Meat Meal menurut Lutfie (1997), PMM terbuat dari hasil penggilingan yang bersih bagian-bagian ayam yang gagal produksi, dipotong dan diolah dengan antioksidan segera setelah pemrosesan untuk menjamin stabilitas ternak.
Berikut adalaha komposisi bahan pembuat PMM yang digunakan selama praktikum dan hasil uji kelarutannya:
Tabel 6. Komposisi bahan pembuat PMM dan hasil uji kelarutan
Parameter
A
B
Berat awal kepala ayam (gr)
380
380
Beratsetelah dari autoklaf (gr)
380
280
Berat setelah dicacah (gr)
380
280
Berat setelah keluar dari oven (gr)
100
100
Berat setelah digiling (gr)
30,28
36,35
Berat kertas saring awal (w1) (gr)
0,42
0,48
Berat kertas saring awal (W2) (gr)
1,11
1,39
% Kelarutan
31
9
Pembuatan poultry meat meal dilakukan dengan cara kepala dan leher ayam dipisahkan dari kulit kemudian dipresto. Berat awal kepala ayam sampel A dan sampel B secara berurutan yaitu sama 380 gram, setelah dimasukkan autoklaf sampel A tetap 380 gram sedangkan sampel B berubah menjadi 280 gram. Panci presto sendiri berfungsi untuk melunakkan kepala ayam dan mensterilkan bahan yang digunakan dari bakteri atau mikroorganisme. Pengovenan sampel berfungsi untuk menghilangkan atau mengurangi kadar air, yang terdapatdalam sampel, setelah pengovenan selesai dilakukan proses penghalusan dan penumbukkan serta dilanjutkan uji kelarutan. Hasil yang diperoleh dari persen kelarutan sampel, dimana sampel A 31% sedangkan sampel B 9%. Kelarutan yang tinggi menunjukkan kecernaan yang tinggi apabila diberikan pada ternak. Parakhasi (1995), menyatakan bahwa substansi tepung daging memperlihatkan peningkatan kecernaan selulosa yang cukup tinggi. Kualitas tepung daging yang dihasilkan tergantung dari komposisi bahan asal, metode dan suhu pembuatannya.
Parakhasi (1995), menyatakan bahwa uji kelarutan bertujuan untuk mengetahui sampel yang lolos, dimana sampel sampel yang lolos dari uji kelarutan bisa dicerna. Berdasarkan hasil yang diperoleh pada saat praktikum apabila diobandingkan dengan literatur yang ada sampel A lebih bagus dari pada sampel B karena persentase kalarutan sampel A lebih besar sehingga sampel yang bisa dicerna lebih banyak.
Menurut Kamal (1999), air dalam analisis proksimat adalah semua cairan yang menguap pada pemanasan beberapa waktu pada suhu 100 sampai 1050C dengan tekanan udara bebas sampai sisanya yang tidak menguap lagi mempunyai bobot tetap. Penentuan kadar air dari suatu bahan bertujuan untuk menentukan kadar bahan kering suatu bahan. Bahan kering sangatlah penting karena bobot bahan kerimg akan digunakan sebagai standar bobot untuk penentuan kadar fraksi lainnya.
Prinsip dari pelunakan tulang dalam autoklaf adalah dengan menggunakan uap dan tekanan yang bersuhu tinggi. Wirakartakusumah et al. (1992), menyatakan bahwa dalam pemanasan langsung, medium pemanas kontak langsung dengan produk. Kontak ini dapat dilakukan dengan injeksi uap dan infusi produk. Kontak ini melalui sistem injeksi uap panas disemprotkan kedalam aliran produk pada ruang injeksi, suhu uap sekitar 140-160 0C dan waktu tinggal (holding time) sekitar 4 detik suhu produk mencapai 137-138 0C. Pada sistem infusi, produk didispersikan kedalam ruang infusi yang berisi uap panas. Tujuan pelunakan ini adalah untuk mempermudah dalam proses selanjutnya yaitu penggilingan.
Pada proses penggilingan dengan menggunakan grinder, tulang dipecah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Wirakartakusumah et al. (1992) menyatakan bahwa proses pengecilan ukuran ini bertujuan untuk mempebesar luas permukaan. Luas permukaan yang lebih besar dapat membantu kelancaran beberapa proses seperti mempercepat waktu pengeringan, mempercepat proses pencernaan, mempercepat kelarutan.
Pembuatan poultry meat meal (PMM) dengan menggunakan kepala ayam dipisahkan antara lemak dan kulitnya sehingga yang dipakai hanya tulang dan dagingnya. Hal tersebut dilakukan untuk mengurangi lemak yang dapat menyebabkan ransiditas (ketengikan). Kenaikan bilangan peroksida merupakan indikator bahwa lemak atau minyak akan menjadi tengik.


KESIMPULAN

Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa PMM merupakan bahan pakan dengan protein tinggi yang dihasilkan sebagai hasil tambahan dari ternak ayam. Pembuatan PMM menggunakn prinsip pelunakan tulang menggunakan autoklaf yang memanfaatkan uap dan tekanan tinggi. Kelarutan PMM semakin tinggi maka PMM sebagai bahan pakan semakin baik kecernaanya pada tubuh ternak. Berdasarkan praktikum pembuatan PMM dapat disimpulkan bahwa berat awal kepala ayam sama yaitu 380 gr, berat setelah autoklaf sampel A tetap 380 gr sedangkan sampel B 280 gr. Persen kelarutan sampel A lebih tinggi dari sampel B sehingga sampel A lebih banyak yang bisa dicerna. Kelarutan sampel A sebesar 31% dan sampel B sebesar 9%. Kelarutan yang tinggi menunjukkan kecernaan yang tinggi apabila diberikan pada ternak.


Daftar Pustaka
Anonimus.2013. http://www.bioadi.com/indonesia/product2.php#top. Diambil pada 12 November 2013. Pukul 19.00 WIB.
Kamal, M. 1998. Bahan Pakan dan Formulasi Ransum. Fakultas Petrnakan UGM. Yogyakarta.
Kementerian Pertanian.2011. Bahan Baku Pakan Ternak Dan Metode Pemeriksaannya Yang Dilakukan Di Laboratorium Karantina Hewan BBKP Tanjung Priok .Sumber Berita : Bidang Karantina Hewan.
Lutfie,M. 1997. Teknologi Penyamakan Kulit. BBKP. Yogyakarta.
Parakkasi, A. 1995. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. Universitas Indonesia. Jakarta.
Wirahartakusumah, A.Subarna,M. Arpah, D.Syah, dan S.I.Budiwati. 1992.Peralatan dan Unit Proses Industri Pangan. Departemen Pndidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. IPB.Bogor.












Lampiran perhitungan:


% Kelarutan A          = 1 gram – (W2-W1)x 100%
                                                 1 gram

                                    = 1 gram – 0,69   x 100% = 31%
                                                1gram


% Kelarutan B          = 1 gram – (W2-W1)x 100%
                                                 1 gram

                                    = 1 gram – 0,91 x 100% = 9%
                                                 1 gram





ACARA V
HIDROLISIS PROTEIN KULIT MENGGUNAKAN ENZIM

TINJAUAN PUSTAKA
            Protein merupakan molekul yang esensial dalam penyusunan struktur maupun proses fungisional tubuh pada seluruh mahluk hidup. Protein terdiri atas rantai asam amino yang dihubungkan dengan ikatan peptida sehingga membentuk beragam struktur tang kompleks. Reaksi hidrolisis protein bertujuan untuk mengubah protein menjadi bentuk yang lebih sederhana, yaitu asam amino dan peptida, sehingga lebih mudah dimanfaatkan oleh tubuh. Hidrolisis protein dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu hidrolisis asam, basa dan enzimatis. Setiap protein akan menghasilkan campuran atau proporsi asam amino yang khas setelah reaksi hidrolisis (Vaclavik dan Christian, 2008).
            Menurut BD Biosciences (2009), hidrolisis protein menggunakan enzim proteolitik merupakan cara yang lebih efisien dan aman karena dapat menghasilkan hidroksilat protein yang terhindar dari kerusakan asam amino tertentu akibat penggunaan asam kuat, basa kuat maupun suhu tinggi pada reaksi hidrolisis asam maupun basa. Reaksi hidrolisis protein menggunakan enzim akan memutus ikatan peptida yang ditargetkan secara spesifik. Hal tersebut dipengaruhi karena sifat dari enzim yang bekerja spesifik pada bagian tertentu.
Dijelaskan lebih lanjut menurut Winarno (1995), enzim proteolitik dapat digolongkan menjadi dua golongan besar yaitu golongan eksopeptidase yang memotong ikatan peptida dari arah gugus karboksil dan gugus terminal, sedangkan golongan endopeptidase memecah protein ikatan peptida dari dalam. Enzim papain termasuk ke dalam jenis enzim proteasse golongan endopeptidase. Menururut Muchtadi et al. (1992), papain merupakan protein sederhana yang berupa sebuah rantai tunggal yang terdiri dari 212 asam amino dengan berat molekul 21.000 dalton. Papain tidak mengandung karbohidrat dan tersusun dari hampir semua asam amino kecuali metionin. Papain mempunyai gugus sulfhidril sebagai gugus esesnsial untuk aktivitasnya. Papain mampu menghidrolisis protein dan peptida menjadi asam amino, khususnya yang melibatkan asam amino arigin, lysine, glutamin, histidin, glysine dan tyrosin. Papain digunakan untuk memecah atau mengurai protein secara sempurna karena mampu mengkatalisis reaksi hidrolisis suatu substrat.


MATERI DAN METODE

Materi
            Alat. Alat-alat yang digunakan dalam praktikum hidrolisis protein menggunakan enzim antara lain silet, pisau, timbangan, piring, gelas, ukur, plastik, kertas saring, gunting, pH meter, autoklaf, oven, saringan, dan water bath.
            Bahan. Bahan-bahan yang digunakan pada praktikum hidrolisis protein menggunakan enzim papain, reagen C dan E, ceker ayam, akuades, HCl 1 N, dan Buffer P.

Metode
              Kulit ceker dibersihkan dari lemak dan  daging. Kulit dicacah kecil-kecil lalu ditimbang 50 gr, kemudian ditambah aquades 100 ml dan dichooping selama 5 menit. Ekstrak kulit kemudian dihomogenkan selama 10 menit. Ekstrak kulit disaring sampai 10 ml, pH diatur sampai menjadi 2 sampai 6. pH diatas 7 dapat ditambah dengan HCl sedangkan pH yang terlalu rendah dapat ditambah dengan NaOH. Enzim papain sebanyak 0,1 gr dan diinkubasi pada suhu 60oC di dalam waterbath. Rekasi dihentikan dengan pemanasan pada suhu 95oC selama 10 menit. Ekstrak tersebut kemudian didinginkan dan ditambah dengan reagen C dan E sebanyak 0,5 ml dan ditunggu selama 30 menit dan dibaca absorbansinya.
           


HASIL DAN PEMBAHASAN
            Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan diperoleh data sebagai berikut:
Tabel 7. Hasil Analisis Hidrolisis Protein  Kulit Menggunakan Enzim
Parameter
A
B



Berat ceker ayam
0,50 Kg
0,50 Kg
Berat kulit ceker ayam
50 gr
50 gr
Warna sampel setelah dicopping
Keruh
Keruh
Warna sampel homogenisasi
Coklat keputihan
Coklat keputihan
HCN 1 N
-
-
Suhu inkubasi di dalam waterbath
60 sampai 95 °C
60 sampai 95 °C
Warna sampel setelah inkubasi
Agak kekuningan
Agak kekuningan
Warna sampel  pemanasan 95°C
Agak kekuningan
Agak kekuningan
Warna sampel setelah penyaringan
Agak bening
Agak bening
Warna sampel ditambah reagen C
Agak bening
Agak bening
Warna sampel ditambah reagen Z
Berubah biru
Berubah biru
Nilai absorbansi TP
10X
100X
1,715
0,508
0,170
1,959
0,453
0,233
Konsentrasi TP
10x
100x
1,7426
0,4001
0,0243
2,0137
0,3385
0,9011
            Bahan utama yang digunakan dalam acara hidrolisis protein kulit dengan enzim papain adalah cakar ayam. Cakar ayam ternyata mempunyai kandungan nutrisi yang cukup tinggi. Menurut Widyastuti et al. (2004), ceker ayam (shank) adalah suatu bagian dari tubuh ayam yang kurang diminati, yang terdiri atas komponen kulit, tulang, otot, dan kolagen sehingga perlu diberikan sentuhan teknologi untuk diolah menjadi produk yang memiliki nilai tambah. Ceker ayam selama ini baru dimanfaatkan sebagai campuran  sup dan krupuk ceker. Nilai tambah dari kedua produk tersebut masih rendah. Salah satu komponen ceker ayam berpotensi untuk dikembangkan adalah kulit kaki ayam mengingat memiliki komposisi kimia yang mendukung seperti kadar air 65,9%; protein 22,98%; lemak 5,6%; abu 3,49%; dan bahan-bahan lain 2,03%. Tingginya kandungan protein pada kulit kaki ayam khususnya protein kolagen, membuka peluang untuk diekstraksi agar dihasilkan produk gelatin.
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan selama praktikum enzim papain aktif pada pH 2 sampai 7. Suhu yang optimum untuk enzim papain berkisar antara 60 sampai 80oC. Menurut Widyastuti et al. (2004), enzim papain mampu menghidrolisis 80% protein ikan pada suhu 55oC. Pada suhu 70oC enzim papain keaktifannya menurun 20%. pH juga merupakan faktor yang terpenting dalam menentukan kerja enzim. Enzim papain memiliki daya katalitik yang baik pada pH 5 dan pada pH 7 keaktifannya menurun 20%. Ditambahkan oleh Muchtadi et al. (1992), enzim papain aktif optimum pada suhu 40oC tidak aktif pada suhu 75oC sampai 85oC. Oleh sebab itu dipilih suhu 95oC untuk menghentikan seluruh aktivitas enzim secara total.
Metode pengujian protein dalam praktikum ini menggunakan metode lowry. Metode lowry memanfaatkan terjadinya perubahan warna  larutan dari hasil reaksi dengan reagen C dan E, kemudian warna tersebut dibaca panjang gelombangnya menggunakan alat spektrofotometer. Hasil pengamatan menunjukkan warna biru dengan nilai absorbansi tanpa pengenceran sebesar 1,959 dan 1,715. Menurut Herowati (2010), metode lowry mengkombinasikan penggunaan pereaksi biuret dengan pereaksi lain (folin-ciocalteau phenol) yang bereaksi dengan residu tyrosin dan trypthopan dalam protein. Reaksi ini menghasilkan warna kebiruan yang bisa dibaca pada 500 sampai 700 nm, tergantung sensivitas yang dibutuhkan.
Nilai absorbansi berbanding lurus dengan konsentrasi sehingga menunjukkan grafik linier. Nilai absorbansi sampel A tanpa pengenceran yaitu 1,715 dan sampel B 1,959. Pengenceran 10X pada sampel A menghasilkan absorbansi 0,508 dan sampel B 0,453. Pengenceran 100X pada sampel A menghasilkan absorbansi 0,170  dan sampel B 0,233. Konsentrasi tanpa pengenceran sampel A sebesar 1,7426 dan sampel B 2,0137. Pengenceran 10X menghasilkan konsentrasi 0,4001 pada sampel A dan sampel B 0,3385. Konsentrasi dengan pengenceran 100X sampel A 0,0243 dan sampel B 0,9011. Menghasilkan persamaan y=-0,859X + 2,440.
Salah satu cara pemanfaatan protein tersebut dengan cara hidrolisis enzim. Hidrolisis adalah proses pemecahan molekul kompleks menjadi molekul lebih sederhana dengan bantuan air. Hirolisis protein bertujuan untuk memutus ikatan antara residu asam amino tertentu dalam protein sehingga menghasilkan rantai peptida yang lebih pendek. Hirolisis protein dapat dilakukan dengan menggunakan larutan asam atau basa dan dengan enzim. Penggunaan asam atau basa dalam hidrolisis enzim dapat menyebabkan kerusakan beberapa asam amino tertentu. Dengan pertimbangan tersebut maka hidrolisis enzim yang paling tepat digunakan karena enzim tidak dapat merusak asam amino tertentu terutama asam amino yang mudah rusak dengan asam atau basa kuat. Enzim yang sering digunakan yaitu papain (Andiani, 2004).
           
                       


KESIMPULAN

   Hidrolisis protein menggunakan enzim papain efektif dilakukan pada suhu 55 sampai 60oC dan pH mendekati netral. Enzim papain efektif digunakan untuk menghidrolisis protein dan kemudian dimanfaatkan. Enzim papain berfungsi untuk menghidrolisis protein yang ada dalam kulit ceker. Praktikum yang dilakukan sesuai dengan literatur yang ada yaitu dimana pada saat hidrolisis protein oleh enzim papain pH diatur mendekati 7, apabila belum sampai 7 ditambahkan HCl atau NaOH. Suhu saat inkubasi yaitu suhu dalam waterbath 60°C, reaksi dihentikan pada saat suhu 95°C yang dimaksudkan agar enzim tidak bisa bekerja lagi. Nilai absorbansi berbanding lurus dengan konsentrasi sehingga menunjukkan grafik linier. Nilai absorbansi sampel A tanpa pengenceran yaitu 1,715 dan sampel B 1,959. Pengenceran 10X pada sampel A menghasilkan absorbansi 0,508 dan sampel B 0,453. Pengenceran 100X pada sampel A menghasilkan absorbansi 0,170  dan sampel B 0,233. Konsentrasi tanpa pengenceran sampel A sebesar 1,7426 dan sampel B 2,0137. Pengenceran 10X menghasilkan konsentrasi 0,4001 pada sampel A dan sampel B 0,3385. Konsentrasi dengan pengenceran 100X sampel A 0,0243 dan sampel B 0,9011. Menghasilkan persamaan y=-0,859X + 2,440.







Daftar Pustaka
Andiani, A.L. 2004. Evaluasi ketersediaan protein pupa ulat sutera yang dihidrolisis menggunkan enzim papain sebagai bahan pakan ayam broiler. Universitas Diponegoro. Semarang.
BD Bioscciences. 2009. Hydrolisis to hydrolysate. http://bdbiosciences.com diakses pada tanggal 20 Oktober 2013.
Herowati, R. 2010. Analisis Makanan 2 Analisis Prootein. Journal of Food Science and Technology 37:559-566.
Muchtadi, D. N.S. Palupi dan M. Astawan. 1992. Enzim dalam industri pangan. Pusat antar universitas pangan dan gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Vaclavik V.A. dan Chrostian E.W. 2008. Essential of food sciences Ed ke-3. Springer. New york.
Widyastuti, E.S., L.E. Radiati, Imam T., M.E. Sawitri dan K.U. Al Awwaly. 2004. Kajian suhu dan pH hidrolisis enzimatik dengan papain amobil terhadap pH, total gula dan warna kecap cakar ayam. Jurnal Ternak Teopika Vol. 12 No.1 63-71.
Winarno, F.G. 1995. Enzim pangan. Gramedia. Jakarta.