LAPORAN PRAKTIKUM
TEKNOLOGI HASIL IKUTAN TERNAK DASAR
Disusun oleh:
Eva Maulida
12/336606/PT/06413
Kelompok XXV
Asisten Pendamping: M
Imam Bahtiyar
LABORATORIUM TEKNOLOGI
HASIL IKUTAN DAN LINGKUNGAN
BAGIAN TEKNOLOGI
HASIL TERNAK
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS GADJAH
MADA
YOGYAKARTA
2013
HALAMAN
PENGESAHAN
Laporan Praktikum Teknologi Hasil Ikutan Ternak Dasar
disusun sebagai syarat dalam mengikuti
ujian akhir mata kuliah Praktikum
Teknologi Hasil Ikutan Ternak Dasar di Fakultas Peternakan Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta.
Laporan ini
telah disetujui dan disahkan oleh asisten pembimbing pada tanggal Desember 2013.
Yogyakarta, Desember 2013
Mengetahui
Asisten
Pendamping
M Imam Bahtiyar
KATA
PENGANTAR
Puji syukur penyusun
panjatkan kehadiran Allah Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat serta
hidayah-Nya, sehingga penyusun dapat
menyelesaikan laporan praktikum ini dengan baik.
Praktikum Teknologi Hasil Ikutan Ternak Dasar
ini dilaksanakan dengan tujuan untuk memenuhi persyaratan dalam menempuh mata
kuliah Teknologi Hasil Ikutan Ternak
Dasar di Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Penyusun
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan laporan ini , antara lain
1. Prof.
Ir. Ali Agus, DAA., DEA., selaku dekan Fakultas Peternakan Universitas Gadjah
Mada.
2.
Prof. Dr. Ir. Suharjono
Triatmojo, MS., Ir.Ambar
Pertiwiningrum, M.Si., Ph.D., Yuny Erwanto, S.Pt. MP., Ph.D., Nanung Agus
Fitriyanto, S.Pt., M.Sc., Ph.D.,dan Muhammad Zainal, S.Pt., M. Biotech.
3. Segenap
asisten Praktikum Teknologi Hasil
Ikutan Ternak Dasar dan Laboran Laboratorium Teknologi Pengolahan Kulit
dan Sisa Hasil Ternak
4. Semua
pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan laporan ini.
Penyusun menyadari bahwa
laporan praktikum Penanganan Limbah Peternakan ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu, penyusun membuka diri atas masukan dan saran ataupun kritik
yang membangun sehingga mendorong penyusun untuk menyusun yang lebih baik.
Penyusun berharap laporan
ini dapat menambah wawasan dan pengalaman serta memberikan manfaat khususnya
mahasiswa Fakultas Peternakn UGM dan pembaca pada umumnya.
Yogyakarta, Desember 2013
PENDAHULUAN
Kulit dalam bidang
peternakan merupakan hasil samping dari suatu ternak, tetapi masih mempunyai
nilai ekonomi yang tinggi. Kulit dapat diawetkan lalu disamak dan kemudian
menjadi bahan dasar untuk membuat berbagai keperluan sehari-hari. Kulit telah
digunakan sebagai bahan dasar pembuat sandang sudah sejak dari 7000 tahun yang
lalu sampai dengan sekarang. Zaman dahulu, kulit digunakan sebagai selimut yang
dapat melindungi tubuh manusia dari hawa dingin. Selain sandang dan selimut,
kulit juga digunakan sebagai bahan pembuat pelana, perisai, karpet, layer pada
kapal, alas kaki, alat tulis sampai dengan kerajinan tangan lainnya, bahkan
juga digunakan sebagai bahan makanan.
Kulit
yang beraneka ragam dan bersifat tahan lama bisa didapatkan dengan ketrampilan
pada saat proses pengawetan sampai penyamakan. Proses-proses ini sudah lebih
dulu dipelajari dan diterapkan oleh manusia purbakala pada zaman dulu dengan
metode yang primitif dimana mereka memerlukan bahan-bahan dari alam. Garam
misalnya, mineral ini digunakan manusia purba dalam pengawetan kulit. Ilmu-ilmu
tersebut secara turun-temurun sampai pada manusia modern sekarang ini. Zaman
sekarang manusia dapat mengolah kulit baik proses pengawetan maupun proses
penyamakan dengan metode yang modern. Proses pengolahan kulit ini membutuhkan
waktu yang lama dengan dibutuhkan ketelatenan yang tinggi, sehingga harga kulit
olahan mahal.
Praktikum
teknologi hasil ikutan ternak dasar ini bertujuan agar mahasiswa mampu
mengetahui metode pengawetan kulit menggunakan garam tabur dan kualitas kulit
awet yang dihasilkan, mengetahui metode pengawetan kulit secara pickling dan
mempersiapkan kulit untuk proses penyamakan, mengetahui cara pengujian kekuatan
tarik kulit dan persentase kemuluran kulit dan mengetahui perbedaan kualitas
kekuatan tarik dan kemuluran kulit samak nabati dan krom, mengetahui cara
pembuatan Poultry Meat Meal (PMM) dan
menguji kelarutannya, dan mengetahui cara hidrolisis protein menggunakan enzim.
ACARA
I
PENGAWETAN
KULIT METODE DIGARAM DAN DIKERINGKAN
TINJAUAN
PUSTAKA
Kulit
termasuk organ tubuh ternak atau hewan hidup, dimana tersusun atas berbagai
macam jaringan maupun sel. Satu sel dengan sel yang lain saling bekerja sama
dan memiliki peran dan fungsi tertentu. Kulit secara histologi adalah merupakan
organ tubuh yang paling brat, dimana pada manusia memiliki berat sektar 16%
dari berat tubuh dan pada ternak hanya berkisar 10%. Presentase ini cukup
bervariasi pada beberapa jenis ternak, yakni pada ternak sampi berkisar 6
sampai 8%, domba 12 sampai 15% dan kambing 8 sampai 12% dari berta tubuh
(Soeparno et al., 2011).
Pembagian
kelompok kulit menurut Said (2000), dapat dibedakan menjadi dua yaitu kulit
yang berasal dari ternak besar dan diberi istilah dengan hide dan yang berasal dari ternak kecil diberi istilah skin. Sewaktu masih hidup kulit menutupi
seluruh permukaan tubuh kecuali bagian kornea mata (conjunctiva) dan kuku atau teracak. Kulit secara umum berfungsi
sebagai alat ekskresi, penyaringan sinar ultraviolet maupun sebagai pengatur
suhu tubuh (thermostat layer). Fungsi
kulit lainnya adalah untuk pelindung ternak atau hewan dari pengaruh luar,
pelindung jaringan yang ada di bawahnya, pemberi bentuk pada tubuh ternak,
penyimpan cadangan makanan, pengatur kadar garam dan air pada cairan tubuh,
produsen vitamin D serta sebagai alat gerak khusus pada ikan maupun burung.
Menurut Fahidin dan Mulisch
(1999), prinsip pengawetan kulit yang umum digunakan adalah pengeringan dan
penambahan bahan pengawet. Adapun prinsip pengawetan kulit adalah untuk
mengurangi kadar air kulit (65%) sedemikian rupa hingga kadar air kulit
berkurang dari batas minimum kadar air yang diperlukan untuk hidup dan
tumbuhnya bakteri pembusuk.
Kulit
hewan adalah bahaan yang mudah membusuk. Sifat ini menunjukkan pentingnya
proses pengawetan. Penyebab utama dari kebusukan ini adalah
mikroorganisme, yaitu bakteri-bakteri
pembusuk. Syarat utama kulit yang telah diawetkan ialah kulit tersebut harus
dengan mudah dikembalikan mendekati keadaan segar dengan perendaman. Perendaman
merupakan pekerjaan pertama yang dilakukan pada proses penyamakan. Dengan alasan ekonomis maka pengawetan kulit
sebaiknya tidak memakan terlalu banyak biaya dan mudah dilakukan (Prihandoko,
2009)
Prinsip
pengawetan yang lazim dilakukan menurut Prihandoko (2009), adalah penggaraman.
Kira-kira sepertiga produksi kulit dunia menggunakan prinsip penggaraman.
Negara-negara penghasil kulit, umumnya didaerha sub-tropis dimana sinar
matahari tidak mencukupi untuk digunkan sebagai proses pengawetan. Garam-garam
yang baik adalah mengandung Ca dan Mg tidak lebih dari 2% dan besar kristal
mendekati homogen.
Menurut
Stanley (1993), pengawetan dengan cara penggaraman secara luas dibagi menjadi
dua metode yaitu penggaraman kering (dry
salting) dan penggaraman basah (wet
salting). Proses pengawetan penggaraman merupakan metode pengawetan yang
paling mudah dan efektif dan merupakan metode pengawetan yang telah lama
dilakukan. Reaksi osmosis dari garam mendesak air keluar dari kulit hingga
tingkat dimana kebanyakan bakteri tidak dapat tumbuh.
Menurut Fahidin dan Muslich
(1999), prinsip pengawetan kulit adalah mengurangi kadar air kulit (65%),
sedemikian rupa hingga kadar air kulit kurang dari batas minimum kadar air yang
diperlukan untuk hidup dan berkembangnya bakteri pembusuk. Lebih lanjut
dijelaskan oleh Syaiful (2002), pengawetan dengan garam secara luas dapat
dibagi menjadi dua metode yaitu penggaraman kering (dry-salting) dan pengawetan garam basah (welt-salting). Garam yang digunakan dalam proses penggaraman
memiliki fungsi sebagai pengambil air dari kulit sehingga menghalang-halangi
pertumbuhan bakteri pembusuk. Jumlah garam yang banyak dapat menyebabkan
plosmolysa sel-sel mikroorganisme, dan zat klorida di dalam garam adalah racun
bagi mikroorganisme.
Untari (1999), mengemukakan bahwa mikroorganisme yang ada pada kulit akan berkembang
delapan jam setelah pemotongan, maka kulit sebaiknya diawetkan maksimal delapan
jam setelah dipotong. Pengeringan yang terlalu cepat juga dapat mengakibatkan
lapisan luar akan mengering lebih dulu dan berubah jadi gelatin, sehingga menghalangi
penguapan air dari lapisan kulit bagian dalam. Apabila ini terjadi, maka lapisan
kulit bagian dalam tidak dapat kering dan akan menimbulkan pembusukan pada kulit
mentah yang sudah diawetkan. Kerusakan fisik kulit dapat terjadi pada waktu merentangkan,
bila regangannya terlalu kuat maka pada waktu pengeringan kekuatan regangannya
akan meningkat sehingga dapat merusak/memutuskan serat-serat terutama dibagian
kulit yang tipis. Sebaliknya kelambatan waktu pengeringan, akan memberi
kesempatan tumbuhnya mikroorganisme, dan apabila sampai terjadi pembusukan maka
kondisinya tidak dapat diperbaiki lagi (bulu menjadi rontok) sehingga kulit
menjadi kurang bernilai .
MATERI
DAN METODE
Materi
Alat. Alat-alat yang digunakan dalam
pengawetan kulit dengan metode digaram dan dikeringknan antara lain: ember,
timbangan, gunting, gelas ukur, sarung tangan, tali rafia dan palu.
Bahan. Bahan-bahan yang digunakan dalam
praktikum pengawetan kulit dengan menggunakan digaram dan dikeringknan antara
lain: kulit kaki sapi, plastik, garam dan air.
Metode
Alat
dan bahan yang akan dipergunakan disiapkan terlebih dahulu kulit kaki sapi
segar ditimbang kemudian dihilangkan
lemak dan sisa-sisa daging (fleshing)
dan kemudian ditimbang lagi. Kulit kaki segar setelah difleshing direndam di dalam larutan garam jenuh selama satu hari
satu malam. Kulit ng telah selesai direndam dibentangkan pada bingkai dan
ditaburi dengan garam kristal halus. Kulit kaki sapi yang telah ditaburi dengan
garam siap dijemur dibawah sinar matahari. Penjemuran yang efektif dilakukan
pada pukul 09.00 sampai 16.00 pada posisi yang miring membentuk sudut 45 ͦ selama 4 hari. Kulit kaki sapi yang telah
selesai dijemur selama 4 hari diamati perubahan fisik yang terjadi.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan
hasil pelaksanaan pengawetan kulit dengan metode digaram dan dikeringknan
didapatkan data hasil pengamatan adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Pengawetan kulit dengan metode digaram dan
dikeringkan
Parameter
|
A
|
B
|
Jenis kulit
Berat kulit awal
Berat kulit setelah di fleshing
Jumlah garam
Jumlah aquades
Berat kulit akhir
Lama kulit kering
Perubahan
fisik : - warna
- Bau
- Tekstur
Perubahan
lain
|
Kulit kaki sapi
450 gr
340 gr
22 °BE
500 ml
250 gr
3 hari
Coklat
Amis
Kasar, lemas
Lebih kering, garam sudah melebur semua
|
Kulit kaki sapi
450 gr
350 gr
20 °BE
500 ml
200 gr
3 hari
Putih kekuningan
Bau kulit
Kasar kaku
-
|
Berdasarkan
pengamatan yang dilakukan terhadap pengawetan kulit dengan digaram dan
dikeringknan diperoleh hasil sebagai berikut: sampel A dan sampel B secara
berurutan jenis kulit yang digunakan yaitu kulit kaki sapi, berat kulit awal
yaitu 450 gr, berat kulit setelah difleshing secara berurutan 340 gr dan 350 gr,
jumlah garam kedua sampel secara berurutan yaitu 220Be dan 200Be,
jumlah aquades kedua sampel 500 gr, berat kulit akhir secara berurutan yaitu
250 gr dan 200 gr, lama kulit kering kedua sampel yaitu 3 hari, perubahan fisik
secara berurutan yaitu warna coklat dan putih kekuningan, bau kedua sampel amis
dan bau kulit, tekstur secara berurutan kasar lemas dan kasar kaku, dan
perubahan lain hanya terdapat pada sampel A yaitu lebih kering dan garam sudah
melebur semua.
Metode yang digunakan dalam
praktikum acara pengawetan kulit dengan metode digaram dan dikeringknan
sebenarnya tidak sepenuhnya menggunakan metode pengawetan digaram dan
dikeringknan, melainkan juga menggunakan perendaman dengan larutan garam jenuh.
Kombinasi antara keduanya dirasa sangat tepat dalam proses pengawetan kulit.
Rangkaian kegiatan yang dilakukan meliputi fleshing,
perendaman dengan larutan garam jenuh, pembentangan, penaburan dengan
garam-garam kristal dan pengeringan.
Fleshing
merupakann
proses pemisahan kulit dengan lemak yang maupun sisa daging. Menurut Fahidin
dan Mulisch (1999), proses fleshing bertujuan
untuk menghilangkan sisa-sisa daging (subcutis)
dan lemak yang masih menempel atau melekat pada kulit. Proses selanjutnaya
adalah perendaman dengan larutan garam jenuh selama sehari semalam. Perendaman
terebut bertujuan untuk memanfaatkan tekanan osmotik dari larutan garam jenuh,
agar kadar air kulit dapat keluar secara maksimal.
Penaburan garam cara
melebarakan kulit pada sisi wadah bekas perendaman atau dengan cara menaburkan
garam kristal pada saat selesai dibentangkan. Menurut Prihandoko (2009), garm
yang bisa digunakan dalam proses pengawetan kulit yaitu NaCl atau garam dapur
dan garam alkali (NaCl 50% dan Na2SO4 50%). Garam yang
digunakan juga harus memenuhi syarat antara lain mempunyai butiran sebesar 1
mm, kadar Ca dan Mg tidak boleh lebih dari 2% dan bebas dari besi (Fe). Menurut
Said (2009), penaburan garam pada bagian yang berdaging dapat ditaburi garam
dengan proporsi kira-kira 30% dari berat basah (berat setelah perendaman).
Pengawetan kulit dengan cara kombinasi
penggaraman dan pengeringan yaitu kulit setelah dibersihkan dengan lemak,
darah, sisa–sisa daging maupun kotoran yang melekat, selanjutnya direndam dalam
cairan garam (NaCl) jenuh dengan kadar kepekatan garam berkisar antara 20
sampai 24°BE selama kurang lebih 1 sampai 2 hari. Tingkat kepekatan garam tidak
boleh berada dibawah 20°BE untuk mencegah berkembangnya bakteri–bakteri
tertentu yang kemungkinan dapat tumbuh dalam suasana garam (Said, 2012).
Kejenuhan garam yang digunakan saat praktikum kelompok sampel A yaitu 22°BE
sedangkan kelompok sampel B 20°BE. Perbandingan hasil kedua kelompok dengan
literatur telah sesuai. Proses pengeringan yang dilakukan selama
praktikum pengawetan kulit menggunakan metode digaram dan dikeringknan adalah
dengan menggunakan sinar matahari secara langung selama 3 hari.
Menurut Prihandoko (2009),
cara pengeringan dalam pengawetan kulit dapat dibedakan menjadi 2 cara
yaituyaitu pengeringan secara alami dan pengeringan buatan. Pengeringan secara
alami yaitu dengan memanfaatkan sinar matahari secara langsung. Pengeringan
buatan yaitu pengeringan yang menggunakan udara pengeringan yang dipanaskan
atau tanpa pemanas. Saleh (2004) menambahkan posisi paling baik untuk penjemuran dengan sinar
matahari adalah posisi sudut 45 o dan untuk menjaga kulaitas kulit
penjemuran dilakukan antara pukul 09.00 sampai 11.00 WIB dan pukul 15.00 sampai
17.00 WIB serta diangin-anginkan antara pukul 11.00 sampai 15.00 WIB pada
tempat yang teduh.
Pietoyo (1991) mengungkapkan
bahwa kulit hasil awetan dengan menggunakan cara penggaraman kering maka
luasnya mengalami penyusutan dibandingkan dengan luas ketika masih segar.
Selain itu, keuntungan pengawetan dengan penggaraman kering adalah kulit
relative mudah disegarkan kembali dalam proses soaking sehingga dalam proses
selanjutnya pada tahap penyamakan akan memudahkan penetrasi bahan penyamak ke
dalam kulit sehingga kualitas samakan relative lebih baik dibandingkan dengan
cara pengawetan dengan pengeringan biasa.
Menurut Fahidin (1999), metode
pengawetan dengan penggaraman dapat menurunkan kadar air kulit segar dari 60%
menjadi 20%. Menurut Purnomo (1990), warna kulit segar lebih baik (terang),
dari pada kulit yang dikeringkan. Tekstur kulit yang menjadi kasar menurut Fahidin
(1999), disebabkan selama proses pengeringan dapat terjadi pengerasan protein
sehingga dapat mempengaruhi tekstur kulit. Berdasarkan literatur yang telah
disebutkan tersebut, ciri-ciri fisik kulit yang telah diawetkan dengan digaram
dan dikeringknan sudah sesuai. Hal tersebut menandakan bahwa proses pengawetan
kulit dengan menggunakan metode penggaraman telah berhasil.
Menurut Untari (1999),
kualitas kulit dipengaruhi oleh bermacam-macam faktor, yaitu pemberian pakan,
lingkungan (antara lain temperatur), kebersihan kandang, penyakit terutama
penyakit kulit seperti kudis, kutu, dan lain-lain, hewan itu sendiri, yaitu ras dan bangsa, cara
pemotongan dan cara pengawetan
Menurut Djojowidagdo (1999),
pengawetan kulit dengan metode digaram dan dikeringknan memiliki beberapa
keuntungan antara lain selama waktu pengeringan kulit tidak lekas menjadi busuk
sekalipun pengeringannya memerlukan waktu yang relative lama misalnya pada saat
musim penghujan; kualitas kulit juga menjadi lebih baik daripada yang
dikeringkan saja karena serat-serat kulit tidak melekat satu sama lain; kulit
sangat baik untuk disamak terutama dalam proses perendaman (soaking) yang tidak
membutuhkan waktu yang terlalu lama. Adapun kekurangan pengawetan kulit metode digaram
dan dikeringknan adalah biaya pengawetan yang dibutuhkan menjadi lebih banyak
bila dibandingkan dengan metode pengeringan saja.
KESIMPULAN
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan dapat
disimpulkan bahwa pengawetan kulit dengan metode digaram dan dikeringkan ini
bertujuan agar kulit tidak mudah rusak oleh aktivitas bakteri pembusuk. Fungsi
menggunakan garam untuk menyerap air dari dalam kulit. Kejenuhan
garam yang digunakan saat praktikum berada dalam kisaran normal yaitu kelompok sampel
A yaitu 22°BE sedangkan kelompok sampel B yaitu 20°BE. Perubahan
fisik kulit setelah mendapatkan penjemuran selama 4 hari yaitu sampel A
warnanya berubah menjadi coklat, berbau amis, dan tektur kasar lemas sedangkan
sampel B warnanya putih kekuningan, bau kulit, dan teksturnya kasar kaku.
Perubahan fisik tersebut dapat dipengaruhi oleh akibat penjemuran dan fungsi
garam yang ditaburkan.
Daftar
Pustaka
Djojowidagdo,
S. 1999. Histologi Sebagai Ilmu Dasar dan Perannya dalam pengambangan Iptek
Pengolahan Kulit. Program Pascasarjana. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Fahidin.1999. Ilmu
dan Teknologi Kulit. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Fahidin dan Mulisch.1999.
Ilmu dan Teknologi Kulit (sapi).Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Pietoyo,
S. 1991. Teknik Penyamakan Kulit untuk Pedesaan. Peberbit Angkasa. Bandung
Prihandoko, A.2009.
sifat kulit fisik samak krom domba gemuk dan domba ekor tipis aawet garam.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Purnomo.1990.pengetahuan
dasar teknologi pengolahan kulit. Akademi teknologi kulit. Departemen Perindustrian
Yogyakarta. Yogyakarta.
Said, M.I. 2000.
Isolasi dan Identifikasi Kapang Serta Pengaruhnya Terhadap Sifat Fisik dan
Struktur Jaringan Kulit Kambing Pickle serta
Wet Blue dengan Perlakuan Fungisida
Selama Penyimpanan. Tesis. Program Studi Ilmu Peternakan. Universitas Gadjah
Mada. Yogyakarta.
Said, M.I.2012. ilmu
dan teknologi oengolahan kulit.universitas hasanudin. Makasar.
Saleh, E. 2004. Teknologi
Pengolahan Susu dan Hasil Ikutan Ternak. Fakultas Peternakan. Universitas
Sumatera Utara.
Syaiful. A. 2002.
Kualitas fisik dan kimia domba samak krom dengan metode pengawetan
penggaraman.Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Soeparno, R.A.
Rihastuti, Indratiningsih, dan S. Triatmojo. 2011. Dasar Teknologi Hasil
Ternak. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Stanley,
A. 1993. Preservation of Rawstock. Leather The International Journal.195(4664)
Dec.1993:23-30
Untari,
S. 1999. Pengulitan, Pengawetan dan Penyamakan Kulit Kelinci. Disampaikan pada
pelatihan budidaya dan pengolahan daging dan kulit kelinci. Ciawi-Bogor 7
Agustus 1999. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Barang Kulit,
Karet dan Plastik. Yogyakarta
ACARA II
PENGAWETAN
KULIT METODE PICKLING
TINJAUAN
PUSTAKA
Kulit
bulu terutama kulit kambing atau domba merupakan hasil samping dari pemotongan hewan
yang ada di rumah pemotongan hewan (RPH) maupun pemotongan diluar RPH. Hasil samping
ini dapat dimanfaatkan sehingga memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Sejalan
dengan pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya pendapatan perkapita, maka
kebutuhan barang barang dari kulit bulu juga meningkat, apalagi dengan semakin
meningkatnya desain dan teknologi perkulitan dan keinginan kembali ke alam
menjadikan barang kulit semakin banyak diminati (Hasyimi et al., 1997).
Teknologi
pengawetan yang paling umum adalah dengan pengeringan di bawah sinar matahari,
penggaraman dan pemberian racun kulit (Sumarmi et al., 1998). Lebih
lanjut dikatakan bahwa pengeringan merupakan teknik pengawetan yang paling
sederhana dan murah, namun intensitas panas dan waktu pengeringan kurang
diperhatikan. Pengeringan dan intensitas panas yang tinggi akan menyebabkan
kerusakan kolagen, sehingga dapat menyebabkan kolagen rusak, maka kulit akan
menjadi kaku, kurang elastis (Untari et al.,
2004).
Pengolahan kulit berdasarkan penelitian meliputi
kulit yang
masih segar direndam dalam air kapur selama 3-5 hari dengan perbandingan setiap
150 kg kulit basah adalah air 300% dan kapur 10%. Air kapur yang baru pada
umumnya dapat membengkakkan kulit, tetapi daya penghilang bulunya kurang.
Sebaliknya air kapur yang sudah sering digunakan cepat melepaskan, tetapi tidak dapat membengkakkan kulit. Sehingga
lebih baik jika dipakai campuran antara setengah air kapur baru dengan setengah
air kapur lama. Setelah perendaman dalam air kapur ini cukup, bulu-bulu mudah
dilepas. Kulit diletakkan di atas meja beam, kemudian dikerok dengan
pisau, lalu dibuang bulunya hingga bersih dan menyeset daging yang ada pada
kulit (fleshing). Untuk memperoleh kulit yang dibutuhkan, maka kulit
dibelah dengan ketebalan tertentu menggunakan mesin belah (splitting).
Kulit ini merupakan lapisan corium
yang banyak mengandung kolagen (Sudardjo et al., 1994).
Proses penyamakan kulit adalah proses pengolahan kulit binatang melalui beberapa
tahapan proses sehingga kulit binatang yang masih utuh dirubah menjadi kulit
yang siap digunakan untuk pembuatan produk-produk hilir seperti sepatu, dompet,
ikat pinggang, jok kursi dan sebagainya. Kulit binatang (domba, sapi, kerbau) sebelum
disamak, pada umumnya digarami dan dijemur di bawah sinar matahari. Kulit
yang telah kering, selanjutnya
dilakukan proses
penyamakan secara bertahap dengan menggunakan bahan kimia. Proses penyamakan
ini mencakup: perendaman (soaking),
pengapuran (liming), pencabutan /
penghilangan bulu (dehairing),
penghilangan kapur (deliming), buang protein (bating), penghilangan lemak (degreasing) dan pengasaman (pickling) dan penyerutan (shaving) (Pawiroharsono, 2008).
MATERI
DAN METODE
Materi
Alat. Alat-alat yang digunakan dalam
pengawetan kulit dengan metode digaram dan dikeringknan antara lain: ember,
timbangan, gunting, gelas ukur, sarung tangan, dan pisau.
Bahan. Bahan-bahan yang
digunakan dalam praktikum pengawetan kulit dengan menggunakan digaram dan
dikeringknan antara lain: kulit kambing segar, plastik, garam, air, Na2S,
kapur, Za, Na-bisulfat, H2SO4, orophon, amonium sulfat
dan kertas pH.
Metode
Kulit
kambing segar yang akan diawetkan ditimbang sebgai berat awal atau berta segar,
kemudian dimasukkan ke dalam proses pengapuran (liming) yaitu dengan mencampurkan 300% air, 2% Na2S, dan
6% kapur lalu diremas-remas selama 1,5 jam. Proses limingyang telah selesai kemudian dilanjutkan pada proses delimingatau penghilangan sisa-sisa
kapur. Proses deliming dilakukan
dengan cara mencampurkan bahan-bahan 60% air, Za 1%, Na-bisulfat 1%dan H2SO4
0,75% dan diremas0remas selama 1 jam. Kulit kemudian dilakukan penghilangan
lemak dan daging atau fleshing dan
pencabutan bulu atau unhiring, kulit
siap untu dilakukan proses selanjutnya yaitu proses bating. Bating adau
proses pengikisan protein dilakukan dengan cara pencampuran 100% air, orophon
1%, dan amonium sulfat 4% kemudian dicuci bersih dan ditimbang. Pengasaman atau
pickling dilakukan dengancara
mencampur air 60%, NaCl 6%, dan H2SO4 1,25%, formulasi
bahan-bahan tersebut dilakukan sebanyak 2 kali agar bisa merendam seluruh
bagian kulit. Proses terakhir yaitu pengujian pH menggunakan pH meter.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Metode
pengawetan kulit selain menggunakan metode digaram dan dikeringknan juga dapat
menggunakanasam (pickling). Menurut
Gumilar et al. (2010), proses pickling atau pikel mempunyai peran
penting dalam tahap prosesing kulit. Proses pikel mempunyai peran fungsi antara
lain sebagai salah satu cara pengawetan kulit yang tidak dapat segera diproses
(penyamakan). Pengawet dengan cara pikel dapat meningkatkan daya simpan kulit
sampai 1 tahun.
Proses
pengawetan kulit dengan pickling
diawali dengan proses soaking. Soaking atau perendamn berfungsi untuk
mengeluarkan kotoran yang melekat pada kulit dan melarutkan protein. Menurut
Said (2012), tujuan dilakukannya tahap perendaman yaitu mengembalikan kadar air
yang hilang selama pengawetan, mengembalikan sifat-sifat kulit mentah dan
membersihkan kulit dari garam pengaawet, dan kotoran seperti darah, lemak, dan
sisa-sisa kotoran.
Kulit
setelah direndam, masuk ke dalam proses limingatau
pengapuran. Liming bertujuan untuk
menghilangkan zat-zat kulit yang tidak diperlukan, terutama globular-globular
lemak yang ada di dalam serat-serat kolagen. Menurut Purnomo (1992), tujuan
dari proses pengapuran yaitu menghilangkan epidermis, menghilangkan
kelenjar-kelenjar lemak dan keringat, menghilangkan zat-zat kulit yang tidak
diperlukan, dan memudahkan pelepasab lapisan subcutis dari lapisan kulit.
Proses
liming yng telah selesai, kemudian
dilanjutkan dengan proses deliming
atau penghilangan kapur. Tujuan dari proses deliming
yaitu menghilangkan kapur dan menetralkan pH. Menurut Purnomo (1992), tujuan
proses deliming yaitu menurunkan pH
kulit, karena kulit dari proses pengapuran biasanya mempunyai pH yang tinggi
yang disebabkan karena sisa kapur yang masih ada di dalam kulit.
Fleshing
adalah proses penghilangan sisa-sisa lemak dan daging. Tujuan dari fleshing adalah untuk menghilangkan
sisa-sisa daging (subcutis) dan lemak yang masih menempel. Bating yaitu proses
pengikisan protein. Proses ini dilakukan untuk menghilangkan protein non
kolagen seperti keratin dan elastin. Definisi lain yang sedikit berbeda menurut
Judoamidjojo (1991), bating yaitu proses pelumatan, adalah untuk membuka atau
melemaskan kulit lebih sempurna menggunakan enzim. Bahan yang digunakan adalah
orophon atau enzilen, yaitu bahan paten yang dibuat dari enzim pankreas dan
garam-garam amonium sebagai aktivator. Meskipun definisi bating menurut
Judoamidjojo sedikit berbeda dengan hasil praktikum, tetapi maksud dan fungsi
bating adalah sama.
Berdasarkan
hasil praktikum pengawetan kulit menggunakan metode pickling didapatkan proporsi bahan yang digunakan selama praktikum
adalah sebagai berikut:
Tabel 2. Macam bahan dan proporsi
penggunaan dalam pickling
Parameter
|
A
|
B
|
Jenis
kulit
Berat
kulit segar
Liming
: air
(300%)
Na2S (2%)
CaCO3 (6%)
Berat
setelah fleshing dan unhiring
Berat
kulit
Deliming
: air
(60%)
Za (1%)
Na Bisulfat (1%)
H2SO4 (0,75%)
Bating
: air
(100%)
Orophon (1%)
Ammonium sulfat (0,4%)
Berat
kulit
Pickling
: air
(60%)
NaCl (6%)
Air (30%)
H2SO4 (1,25%)
pH
|
Kulit kambing
195 gram
584 gram
3.9 gram
11.7 gram
170 gram
170 gram
102 gram
1.7 gram
1.7 gram
1,275 gram
170 gram
1.7 gram
0,68 gram
150 gram
90 gram
9 gram
45 gram
1.875 gram
2,25
|
Kulit kambing
140 gram
120 gram
2,8 gram
8,4 gram
120 gram
120 gram
72 gram
1.2 gram
1.2 gram
0.9 gram
120 gram
1,2 gram
0,48 gram
120 gram
72 gram
7,2 gram
36 gram
1.5 gram
2
|
Berdasarkan
pengamatan yang dilakukan terhadap pengawetan kulit dengan metode pickling diperoleh hasil kulit yang
digunakan yaitu kulit kambing, pH akhir setelah dilakukan beberapa prosedur
yaitu pada sampel A yaitu 2.25 dan sampel B yaitu 2. Pengawetan dengan
metode pickling melalui beberapa
proses yaitu liming atau pengapuran, deliming atau penghilangan kapur, fleshing atau penghilangan daging lemak,
dan bathing.
Menurut Said (2012), bahan
yang dibutuhkan pada saat pengapuran yaitu air pelarut 400%, Ca(OH)2
55%, Na2S 4%, dan dispersing agen 0,25%. Fungsi Na2S
untuk memutuskan ikatan sulfida pada akar rambut dan penggunaan kapur berfungsi
untuk memutuskan kalenjar-kalenjar yang ada pada kulit. Menurut literatur
tersebut proporsi bahan yang digunakan berbeda dengan yang digunakan selama
praktikum, karena pada literatur penggunaan bahan dalam skala industri dengan
prosesnya dilakukan di dalam drum besar yang tertutup dan diputar. Bahan yang
digunakan dalam proses liming selama
praktikum sedikit karena dilakukan dalam skala laboratorium dan prosesnya
dilakukan secara manual.
Tahap
deliming menggunakan bahan-bahan
seperti air 60%, Za 1%, Na-bisulfat 1%, dan H2SO4 0,75%.
Proporsi bahan tersebut sama seperti proses liming
yaitu seper sekian persen dari berat kulit. Menurut Said (2012), bahan yang
digunakan dalam proses deliming yaitu
air 200%, amonium bisulfat 1%, dan asam formiat 0,5%. Menurut Handayani (2002),
Za dalam proses deliming berfungsi
sebgai buffer atau pengatur pH, NA bisulfat untuk mengikat kapur, dan
penambahan H2SO4 untuk menambah suasana asam atau
menurunkan pH setelah proses liming.
Bahan-bahan
yang digunakan selama proses bating yaitu air 100%, orophon 1%, dan amonium
sulfat 0,4%. Menurut Said (2012), bahan yang digunakan dalam proses bating yaitu
HCl, H2SO4, yang telah diencerkan dengan perbandingan
1:10, asam boraks, NH4Cl 0,7% dan enzim-enzim seperti lipase.
Perbedaan bahan yang disebutkan dalam literatur dan bahan yang digunakan selama
proses praktikum adalah enzim yang digunakan yaitu orophon. Menurut Lutfie
(1997), enzim orophon berfungsi untuk mendegradasi protein dan menyabun lemak.
Proses
teakhir setelah dilakukan bating
yaitu proses pickling itu sendiri.
Bahan yang digunakan dalam proses pikling yaitu air 60%, NaCl 6%, dan H2SO4
1,25%. Menurut Said (2012), bahan yang digunakan dalam proses pickling yaitu air 125% sebagai medium
pelarut, Chromosal B 8 sampai 10%, Natrium formiat 0,5%, dan soda kue 2%.
Keseluruhan proses pickling
memerlukan watu 8 sampai 10 jam. Bahan yang digunakan selama praktikum dengan
bahan yang disebutkan dalam literatur sedikit berbeda, karena dalam literatur
adalah penggunaan bahan untuk skala industri agar penggunaan bahan dan proporsi
bahan efektif dan efisien dalam menghasilkan pengawetan kulit yang baik.
pH
kulit setelah proses pickling yaitu
untuk kelompok A 2,25 dan kelompok B yaitu 2. Menurut Soeparno et al. (2001), pH yang diharapkan dalam
proses pickling yaitu sekitar 2
sampai 3. Tujuan akhir dari proses pengawetan menggunakan pickling adalah menurunkan pH serendah mungkin dimana kondisi
tersebut tidak memungkinkan mikrobia pengrusak kulit dapat tumbuh. pH kulit
untuk kelompok A dan kelompok B sudah sesuai dengan literatur.
Zat asam yang digunakan pada proses pikel
menyebabkan kulit menjadi asam sehingga berada pada kondisi ideal untuk
bereaksi dengan zat penyamak, selain itu pemberian asam dapat memecah ikatan –
ikatan silang diantara fibril – fibril kulit sehingga memperluas ruang antara
fibril dan polipeptida di dalam kulit yang menyebabkan kulit siap diisi oleh
zat penyamak. Penggunaan asam sulfat yang dikombinasi dengan asam formiat
menunjukkan perbedaan hasil, semakin banyak asam formiat yang diberikan
menyebabkan penurunan pH kulit jadi, sebagai akibat dari peningkaan konsentrasi
asam formiat di dalam larutan pikel. Asam formiat sebagai salah satu asam lemah
memiliki sifat penetrasi yang lambat tetapi dapat terpenetrasi dengan baik
kedalam jaringan kulit secara merata. Hal inilah yang menyebabkan tingkat pH
kulit menjadi lebih rendah.(Gumilar et al., 2010).
KESIMPULAN
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada
pengawetan kulit kambing dengan menggunakan metode pickling atau asam bertujuan untuk mengetahui cara dan hasil
pengawetan kulit dengan asam. pH akhir yang dihasilkan berada dalam kisaran
normal yaitu pada sampel A yaitu 2.25
gram dan sampel B yaitu 2 gram Proses perlakuan sebelum dilakukan pickling sesuai dengan literatur yaitu
liming, deliming, fleshing, dan bathing. Pengapuran dilakukan dengan menambahkan air, Na2S
, kapur dan kemudian dilakukan peremasan. Pembuangan kapur (deliming) bertujuan
untuk menurunkan PH kulit, karena pengapuran biasanya mempunyai PH yang tinggi
yang dikarenakan sisa kapur yang masuk masih terdapat pada kulit. Fleshing bertujuan
untuk menghilangkan sisa – sisa daging (subkutis) dan lemak yang masih melekat
pada kulit. Bating bertujuan untuk
membuka atau melemaskan kulit lebih sempurna secara enzimatis.
Daftar
Pustaka
Gumilar,
I., Wendr, S., dan Eka, W. 2010. Pengaruh Penggunaan Asam Sulfat (H2SO4)
Dan Asam Formiat (HCOOH) Pada Proses Pikel Terhadap Kualitas Kulit Jadi
(Leather) Domba. Jurnal ilmu ternak. Juni 2010, Vol 10 No. 1 1-6
Handayani.
2002. Dasar Teknologi Penyamakan Kulit. BBKP. Yogyakarta.
Hasyimi S, Budi Santoso H .1997. Pengaruh
Variasi Pemakaian Garam dan Sellatan P Terhadap Penyerapan Glutaraldehid
Didalam Kulit. Majalah Barang Kulit, Karet dan Plastik, Vol.XII No.24. Hal 30 -
34.
Judoamidjojo,
M. 1991. Ternak Untuk Penyamakan Kulit Untuk Pedesaan. Angkasa. Bandung.
Lutfie,
M. 1997. Teknologi Penyamakan Kulit Kelinci. Petunjuk Teknis Pengolahan Kulit
BBKP. Yogyakarta.
Pawiroharsono,
Suyanto. 2008. Penerapan Enzim Untuk Penyamakan Kulit Ramah Lingkungan. Peneliti di Pusat
Teknologi Bioindustri Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. J. Tek. Ling. Vol. 9 No. 1 Hal. 51-58 Jakarta, Januari
2008 ISSN 1441-318X.
Purnomo.
1992. Penyamakan Kulit Kaki Ayam. Kanisius. Yogyakarta.
Said,
M.I. 2012. Ilmu Dan Teknologi Pengolahan Kulit. Universitas Hasanudin. Makasar.
Soeparno, R.A., Rihastuti, Indratiningsih,
dan Suharjono T. 2001. Dasar Teknologi Hasil Ternak. Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta.
Sudardjo, Purnomo E, dan Wazah.1994. Teknologi
Penyamakan Kulit 2, BP Panca Usaha, Yogyakarta.
Sumarmi, Koesnan, B. Oetoyo Dan S. Untari.1998.
Pedoman Pengawetan Kulit Mentah.Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Untari, S., Dwi Setyowati Dan Endang Sri Jatmikowati.
2004. Penyamakan Kulit Bulu/fur dan Kulit Glace dari Kulit Kelinci dengan
Menggunakan Reduced Chrome. Bull. of Anim. Sci. 28(2). A Publication of Faculty
of Animal Husbandry, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
ACARA
III
PENGUJIAN
KUALITAS KULIT SAMAK
TINJAUAN
PUSTAKA
Menurut
Mustakim et al. (2010), proses
penyamakan pada kulit dimaksudkan untuk memperoleh kulit yang tidak mudah rusak
dan kuat. Penyamakan kulit umumnya dapat dilakukan dengan beberapa cara,
ditinjau dari bahan penyamak yang digunakan yaitu 1). Penyamakan nabati dengan
bahan penyamak yang berasal dari tumbuh-tumbuhan yang mengandung penyamak
nabati (tannin) misalnya kulit akasia, segawe, tengguli, mahoni, gambir, teh,
buah pinang dan mangga. 2). Penyamak mineral dengan bahan penyamak mineral
misalnya khrom dan formalin. 3). Penyamak minyak dengan bahan penyamak berasal
dari minyak hewan seperti minyak ikan hiu.
Hasil
pengujian kekuatan fisik kulit dalam kegiatan penelitian dimanfaatkan untuk
mengevaluasi kualitas produk kulit tersamak. Namun demikian, hasil evaluasi
tersebut sangat bergantung dari tujuan kita melakukan proses penyamakan, apakah
kulit yang disamak tersebut akan digunakansebagai bahan untuk membuat pakaian
(garmen) atau kulit tersebut akan diaplikasikan sebagai bahan penunjang mesin
industri. Hal ini mengandung pengertian bahwa kulit yang akan digunakan sebagai
bahan penunjang mesin industri tentunya dibutuhkan kekuatan fisik yang lebih
tinggi dibandingkan dengan kulit yang akan diaplikasikan sebagai bahan pakaian
(Said, 2012).
Kekuatan
tarik (tensile strength) hasil uji
yang diukur dalam satuan kg/cm2 luas penampang melintang kulit,
dimana pengujiannya dengan menarik sampel kulit dari dua arah. Hasil pengujian
ini biasanya dimanfaatkan untuk mengevaluasi produk kulit yang biasanya sering
mendapatkan tarikan secara fisik seperti ikat pinggang. Kemuluran (elongated at break), hasil pengujiannya
ditentukan dalam persen. Nilai kemuluran produk tersamak adalah nilai yang
menunjukkan seberapa besar terjadinya pertambahan panjang suatu produk kulit
dari panjang awal saat mulai ditarik hingga akhirnya kulit yang ditarik
tersebut putus. Hasil pengujian ini biasanya dimanfaatkan untuk mengevaluasi
produk kulit yang memerlukan sifat mulur diantaranya sarung tangan, sepatu, dan
tali.
Suhu
kerut ialah suhu tertentu yang mengakibatkan contoh kulit mengalami pengerutan.
Serabut-serabut kolagen atau kulit mentah akan mengkerut lebih kurang sepertiga
atau seperempat dari panjang semula jika dipanaskan pada medium air pada suhu
tertentu. Pemendekan serabut kolagen disebabkan hilangnya atau berubahnya
rantai ikatan silang molekul kolagen. Suhu kerut sampel yang berasal dari
bermacam-macam bagian pada kulit yang sama berbeda antara 2 sampai 3 oC
(Soeparno et al., 2001).
MATERI
DAN METODE
Materi
Alat. Alat-alat yang digunakan dalam
acara pengujian kualitas kulit samak antara lain: tensile strength meter,
jangka sorong atau skin thickness micrometers, tatah untuk membuat pola pada
sampel. Penggaris, gunting, shringkage meter, gelas beker, kompor pemanas, dan
termometer.
Bahan. Bahan yang digunakan dalam acara
pengujian kualitas kulit samak adalah sampel kulit samak nabati dan kulit samak
krom serta beban atau batu pemberat.
Metode
Uji kekuatan tarik dan
kemuluran
Sampel dibuat pola
seperti gambar 1. Sebelum diuji sampel kulit diukur ketebalannya dengan
menggunakan jangka sorong pada 3 bagian. Sampel kulit kemudian di jepit pada
pesawat tensile strength meter dari scopper, dengan penjepit mempunyai
selisih 5 cm. Skala yang menunjukkan beban maksimum dari angka pertambahan
panjang diatur pada angka nol. Pesawat dijalankan sampai sampel kulit terputus
dengan menambah beban sedikit demi sedikit. Berat beban yang dibutuhkan sampai
sampai sampel kulit menjadi putus ditimbang dan angka pertambahannya sampel di
catat.
5
cm
A B C 3 cm
11
cm
Gambar 1. Sampel kulit untuk uji tarik
dan kemuluran
Uji suhu kerut
Sampel kulit dibuat
seperti gambar 2, dipasang pada alat yang disebut shrinkage meter, yaitu dengan mengepit kedua ujung sampel tersebut.
Setelah suhu air pada tabung pengujian mencapai 500 C, sampel kulit
bersama penjepitnya digeser masuk kedalam tabung kemudian dinaikkan 300
C setiap menit sampai sampel kulit memendek atau mengkerut. Skala pengerutan
diamati apabila tanda pada benang yang mula-mula tepat pada skala sudah
bergeser kekiri maka suhu kerut sudah tercapai.
9 cm
1,2 cm
7,5
cm
Gambar
2. Sampel pengujian suhu kerut dan kerut maksimal
Uji kerut maksimal
Sampel kulit dari
menguji suhu kerut dibiarkan dalam larutan sampai suhu larutan mencapai 1000C,
kemudian dididihkan dalam larutan tersebut selama 15 menit. Setelah itu sampel
kulit diangkat dan diukur panjang akhir dari sampel. Kerut maksimal diukur
sebagai pengerutan kulit yang disebabkan oleh pemanasan dengan air mendidih
selama 15 menit yang dinyatakan dalam presentase. Rumus yang digunakan untuk
mencari presentase kerut maksimal adalah
Presentase
kerut maksimal = x
100%
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Penyamakan
kulit bertujuan untuk preservasi terhadap efek kontaminasi bakteri pembusuk
dari kulit serta mempersiapkan kulit untuk dapat diolah ke proses selanjutnya.
Menurut Mustakim et al. (2010), proses penyamakan kulit bertujuan
untuk mengubah kulit mentah yan mudah rusak pleh aktivitas mikroorganisme,
reaksi kimia, dan atau kerusakan fisik menjadi kulit tersamak yang lebih tahan
terhadap pengaruh-pengaruh tersebut. Penyamakan kulit secara umum dapat dibagi
menjadi empat, yaitu: penyamakan nabati, minyak, sintetik, dan mineral.
Sifat
kulit samak dengan penyamak nabati dan krom mempunyai sifat yang berbeda.
Menurut Untari (2004), kulit yang disamak dengan bahan penyamakan nabati akan
terjadi hubungan antara tanin dengan protein kulit yang akan berikatan dan
membentuk kulit tersamak, maka kulit menjadi padat. Karena kepadatan kulit
tersebut, kulit menjadi lebih kaku dan plastis, sehingga kekuatan tariknya
rendah dibandingkan dengan kulit yang tersamak mineral dan sintetis. Kulit yang
disamak dengan penyamak nabati juga mempunyai sifat beffing eject yang baik, mempunyai daya serap air yang tinggi,
warna coklat muda, kulit kaku tetapi proses penyamakannya sederhana. Sifat
kulit samak dengan penyamak krom menurut Layla dan Aminah (2004), kulit
mempynuai sifat yang tahan lama, tahan kelembaban serta tahan panas. Sifat krom
lainnya yang sangat menguntungkan khususnya bagi proses pewarnaan, karena
memungkinkan mewarnai segala macam bulu dengan terlebih dahulu dikerjakan
dengan krom.
Kualitas kulit samak dapat
diketahui dengan berbagai uji, seperti uji kekuatan tarik dan kemuluran, uji
suhu kerur dan kerut maksimal. Menurut SNI (1998), syarat kulit sampi tersamak
antara lain, uji kimia yang meliputi uji kadar air, kadar zat terlarut, uji
jumlah abu, kadar Cr3O3, derajat penyamakan dan pH. Uji
fisik meliputi tebal penyamakan, kekuatan tarik, kemuluran, kekuatan jahit dan
ketahanan bengkok. Uji organoleptik meliputi keadaan kulit, cat, dan bagian
daging.
Uji
kekuatan tarik dan kemuluran yaitu besarnya beban yang dibutuhkan unruk menarik
sampel kulit berukuran panjang 5 cm, dan lebar 1 cm serta kecepatan penarikan
25 m/s sampai kulit tersebut terputus. Definisi kekuatan tarik dan kumuluran
menurut Purnomo (1999), kekuatan tarik merupakan besarnya gaya maksimum yang dibutuhkan
untuk menarik kulit sampai kulit tersebut putus. Kemuluran merupakan presentase
panajang kulit pada saat ditarik sampai
putus dibagi dengan panjang kulit awal dikali 100%.
Berdasarkan
pengamatan dan uji kekuatana tarik dan kemuluran sampel kulit samak krom dan
nabati adalah sebagai berikut:
Tabel 3. Kekuatan tarik dan presentase kemuluran
Parameter
|
Samak krom
|
Samak nabati
|
Jenis kulit
|
Kulit sapi
|
Kulit sapi
|
ketebalan kulit (3
bagian) (cm)
|
0,023
|
0,009
|
Lebar kulit
(cm)
|
3
|
3
|
Luas penampang kulit (A)
|
0,069cm2
|
0,027cm2
|
Beban yang
dibutuhkan (kg)
|
1,3
|
1,596
|
Gaya yang dibutuhkan
(kgx10) (F)
|
13
|
15,96
|
Kekuatan tarik
(F/A)
|
188,41
|
591,11
|
Panjang awal
(cm)
|
5
|
4,5
|
Panjang akhir
(cm)
|
6,7
|
5,5
|
Presentase kemuluran (%)
|
34
|
22,22
|
Berdasarkan praktikum yang dilakukan kekuatan
tarik dan kemuluran diuji dengan alat tensile strength meter. Kulit samak krom
dan nabati berasal dari kulit sapi. Beban yang dibutuhkan untuk memutuskan
sampel A dan sampel B secara berurutan yaitu 1,3 Kg dan 1,596 Kg. Data tersebut
menyatakan bahwa kulit dengan samak krom mempunyai kekuatan tarik yang lebih
rendah dibandingkan kulit samak nabati. Perbedaan pada samak krom dan nabati
yang terlihat jelas yaitu warna, dimana warna nabati coklat tua sedangkan krom
berwarna abu-abu kehitaman.
Faktor
yang mempengaruhi kekuatan tarik menurut Prayitno et al. (2005), adalah berat kulit, kenaikan bobot kulit dapat
menurunkan sifat kekuatan tarik kulit samak. Faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi bobot kulit segar antara lain spesies, jenis kelamin dan umur,
semakin tua umur ternak semakin besar bobot kulit segarnya. Kekuatan tarik
kulit samak yang tinggi akan diikuti dengan kemuluran yang rendah sampai batas
tertentu, setelah kemuluran kekuatan tarik akan diikuti dengan kenaikan
kemuluran.
Presentase
kemuluran kulit samak krom lebih tinggi dari persentase kemuluran kulit samak
nabati. Persentase kemuluran samak krom yaitu 34% dan samak nabati 22,22 %. Anonim (2013),
menyatakan bahwa standar nilai kemuluran kulit tersamak maksimal 30%. Berdasarkan
data hasil praktikum apabila dibandingkan dengan literatur yang ada dalam presentase
kemuluran kulit samak krom berada diatas kisaran normal dan samak nabati berada
pada kisaran normal. Suprapto (1993), menambahkan bahwa faktor yang berpengaruh
terhadap kemuluran kulit adalah kandungan protein kulit terutama serabut
kolagen dan komposisi kimia yang terdapat dalam kulit. Putusnya serabut kolagen
akan mengurangi kemampuan kulit menahan beban tarikan,sehingga kekuatan tarik
turun tetapi nilai kemuluran naik, komposisi kimia berpengaruh terhadap
kemuluiran kulit
Menurut Djojowidagdo (1999), hasil penyamakan kulit dengan krom
menghasilkan kulit yang kaku, elastis, dan tebal. Kulit dengan hasil ekstraksi
dari tumbuhan sehinggga menghasilkan kulit yang kaku dan kuat. Hasil penyamakan
nabati biasanya menghasilkan warna coklat sampai kehitaman. Mustofa dan Pratiwi (1994), menyatakan bahwa kecenderungan terjadinya penurunan nilai kekuatan tarik
disebabkan belum sempurnanya proses penyamakan sehingga antara bahan penyamak
dengan serabut belum stabil. Kelembaban udara ruang penyimpanan menjadi salah
satu faktor penentu dalam menghasilka tinggi rendahnya nilai kekuatan tarik
kulit tersamak. Kelembaban udara yang tinggi mendorong terjadinya pemutusan
rantai polipeptida dan pembengkakan kolagen. Serabut kolagen yang membengkak
akan merubah struktur kulit sehingga kekuatan tarik kulit rendah.
Data
hasil uji suhu kerut dan kerut maksimal hanya dilakukan pada kulit samak dengan
penyamak nabati adalah sebagai berikut:
Tabel 4. Hasil uji suhu kerut dan kerut maksimal
Parameter
|
Samak nabati
|
Jenis kulit
|
Kulit kambing
|
Panjang awal
(cm)
|
8,7
|
Panjang
akhir(cm)
|
4,8
|
Suhu kerut (ºC)
|
85
|
Suhu kerut
maksimal (ºC)
|
100
|
Pengujian suhu kerut
kulit dilakukan dengan memasukan kulit sampel dalam larutan gliserin 75% dan
25% air, selanjutnya dipanaskan. Suhu gliserin dinaikkan secara bertahap dan dicatat suhu terjadinya pengerutan kulit (Fitriyanto et al. 2004). Metode yang digunakan saat
praktikum sudah sesuai dengan literatur yang ada. Suhu kerut sampel kulit yaitu
85°C dan
presentase kerut maksimal kulit samak berkisar 44,8%. Menurut Soeparno et al. (2001), suhu kerut dan kerut maksimal kulit samak berkisar
dari 80 sampai 105oC sedangkan presentase pengerutan sebesar 30%.
Berdasarkan literatur yang telah ada suhu kerut kulit samak masih sesuai, akan
tetapi presentase kerut maksimal belum sesuai karena lebih besar dari
literatur. Fitriyanto et al., (2011), menyatakan bahwa faktor yang berpengaruh terhadap
pengukuran suhu kerut adalah alat pemanas dan kandungan protein kulit terutama
serabut kolagen dan komposisi kimia yang terdapat dalam kulit.
KESIMPULAN
Berdasarkan
hasil praktikum yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa kulit samak krom
mempunyai kekuatan tarik yang lebih rendah dibandingkan dengan samak nabati.
Presentase kemuluran kulit yang dihasilkan pada kulit samak krom lebih tinggi
dibandingkan samak nabati. Hasil praktikum apabila dibandingkan dengan
literatur yang ada presentase kemuluran kulit samak krom berada diatas kisaran
normal dan samak nabati berada pada kisaran normal yaitu samak
krom 34% dan samak nabati 22,22 %. Suhu kerut dan kerut maksimal kulit samak saat
praktikum yaitu 85 oC dan 100 oC
berada pada kisaran normal sesuai dengan literatur, akan tetapi presentase
kerut maksimal kulit nabati pada saat praktikum berada diatas kisaran normal
sebesar 44,8%.
Daftar
Pustaka
Anonim. 2013. SNI 06-6121-1999
Pengawetan Kulit. Jakarta.
Djojowidagdo,
S. 1999. Histologi Sebagai Ilmu Dasar dan Perannya dalam pengambangan Iptek
Pengolahan Kulit. Program Pascasarjana. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Fitriyanto, Nanung A., Suhardjono T., Yuni E.
2004. Pengaruh Protease Apergillus sp pada Proses Soaking Kulit Domba Lokal
Terhadap Parameter Kualitas Fisik Kulit Samak. Laporan Penelitian. Fapet UGM.
Yogyakarta.
Layla,
Z. Dan Aminah, S. 2004. Penyamak Kulit Bulu Domba dengan Metode Krom Dalam
Upaya Pemanfaatan Hasil Samping Pemotongan Ternak. Prosiding Temu Teknis
Nasional Tenaga Fungsional Pertanian Balai Penelitian Ternak. Bogor.
Mustakim,
Aris S.W. dan A.P. Kurniawan. 2010. Perbedaan Kualitas Kulit Kambing Peranakan
Etawa (PE) dan Peranakan Boor (PB) yang Disamak Krom. Jurnak Ternak Tropika
vol. 11 No. 1 38-50
Mustofa, H dan V. S. Pertiwi. 1994. Pengaruh Cuaca terhadap Perubahan Sifat
Tegangan Putus dan Perpanjangan Putus Berbagai Jenis Kulit. Penelitian.
Majalah Barang Kulit, Karet, dan Plastik.
Prayitno,
Davinchi A.C. dan Wasito S. 2005. Pengaruh Rhizopus
sp Sebagai Agensia Bating Terhadap Sifat Kekuatan Tarik dan Kemuluran Kulit
Garmen dan Domba. Majalah Kulit, Karet dan Plastik Vol. 21 No. 1. Yogyakarta.
Purnomo.
1999. Pengetahuan Dasar Teknik Penyamakan Kulit. Kanisus. Yogyakarta.
Said, M.I. 2012. Ilmu Dan Teknologi
Pengolahan Kulit. Universitas Hasanudin. Makasar.
SNI.
1998. Kualitas Sapi atau Kerbau Samak Kombinasi Krom dan Nabati, Mutu dan Cara
Uji. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta.
Soeparno,
Indratiningsih, S. Triatmojo, S. dan Rihastuti. 2001. Dasar Teknologi Kulit.
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Suprapto, S., Pertiwi., dan Widhiati. 1993. Pengaruh Perbedaan Lama Pengawetan terhadap
Kekuatan Tari dan Kemuluran Kulit Kaki Ayam Pedaging Samak Krom. BPKKP.
Yogyakarta.
Untari,
S. 2004. Penyamakan Kulit Kelinci Dengan Teknologi Tepat Guna Sebagai Bahan
Kerajinan Kulit Dan Sepatu Dalam Menunjang Agribisnis Ternak Kelinci. Lokakarya
Nasional Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Kelinci. Yogyakarta.
Lampiran
Perhitungan:
% Kerut maksimal = (Panjang awal – Panjang akhir) x 100%
Panjang awal
=
(8,7 – 4,8) x 100%
8,7
= 44,82%
Kulit
samak Krom :
% Kemuluran =
= (6,7-5) x 100%
= (6,7-5) x 100%
5
= 34%
Kulit
samak Nabati :
%
Kemuluran =
=
=
= 22,22%
ACARA
IV
PEMBUATAN
POULTRY MEAT MEAL (PMM)
TINJAUAN
PUSTAKA
Poultry meat meal merupakan bahan pakan dengan kualitas protein yang
tinggi yang dihasilkan secara khusus sebagai hasil tambahan dari ternak ayam
(tidak termasuk bulu). Bentuk yang sempurna dari asam amino dan asam lemak
membuatnya cocok untuk ditambahkan pada makanan ternak ayam dan babi. Dengan
kandungan protein yang sangat tinggi dan mudah dicerna. Poultry meat meal
juga cocok untuk ditambahkan pada makanan kering bagi hewan piaraan dan makanan
untuk ternak ayam dan babi yang masih muda.
Analisis kandungan nutrien pada PMM pada tabel berikut
Analisis kandungan nutrien pada PMM pada tabel berikut
Tabel 5. Kandungan nutrien PMM
Kandungan
|
Persentase
|
Protein
|
90.0%
|
Lemak
|
13.0%
|
Serat Kasar
|
2.0%
|
Kalsium
|
5.76%
|
Fosfor
|
2.77%
|
Abu
|
14.0% - 18.0%
|
Pepsin Digestibility (in vitro pepsin)
|
90.0%
|
(Anonimus, 2013).
Bahan baku pakan ternak adalah salah satu media pembawa
HPHK yang masuk. Bahan baku pakan ternak ini terdiri dari meat bone meal (MBM), poultry
product meal (PPM), feather meal
(FM), hydrolized feather meal (HFM)
dan blood meal. Bahan baku pakan
ternak ini diimpor dari berbagai Negara antara lain Australia, USA, New Zealand
dan Canada. Meat Bone Meal adalah
produk asal hewan yang diperoleh dari daging dan tulang sapi dengan cara
mendaur ulang dan dihaluskan. Bagian tubuh hewan tidak semuanya dapat dijadikan
tepung tulang seperti darah, rambut, kuku, tanduk, potongan kulit dan isi
perut. Pada MBM ini kadar kalsiumnya sangat tinggi, hal ini menunjukkan bahwa
pada MBM ini terdapat penambahan kalsium dari sumber lain selain tulang. Poultry Product Meal merupakan komoditas
tinggi protein yang digunakan sebagai komponen utama dalam beberapa makanan
hewan peliharaan. PPM dibuat dari penggilingan bersih yang berisi bagian-bagian
ayam yang gagal produksi yang dipotong dan diolah dengan anti oksidan segera
setelah pemrosesan untuk menjamin stabilitas ternak. Dan berisi bulu yang tidak
dapat dihindari dalam pengolahan bagian-bagian unggas. PPM ini berwarna coklat
muda keemasan, dengan bau ternak ayam segar. Feather meal dan hydrolized
feather meal atau yang disebut dengan tepung bulu terbuat dari bulu unggas
yang dihidrolisis dibawah panas dan tekanan tinggi dan kemudian digiling.
Meskipun tingkat total nitrogen cukup tinggi, ketersediaan hayati nitrogen ini
mungkin rendah (Kementerian Pertanian, 2011).
Materi
dan Metode
Materi
Alat. Alat-alat yang digunakan dalam
pembuatan PMM antara lain pisau, mangkok, loyang, timbangan, gunting, gelas
ukur, kertas saring, kayu penubuk, autoklaf, oven dan saringan.
Bahan. Bahan yang digunakan dalam
pembuatan PMM yaitu kepala ayam dan akuades.
Metode
Pembuatan
PMM. Kepala ayam yang akan digunakan sebelumnya dicuci dan dipisahkan kulit dan
lemak dari daging dan tulang, kemudian ditimbang. Kulit kepala yang telah
selesai dibersihkan dimasukkan ke dalam autoklaf selama 1 jam. Kepala ayam yang
telah selesai di autoklaf ditimbang dan dihancurkan setelah itu dimasukkan ke
dalam oven pada suhu 50oC selama 24 jam. Kepala yam kemudian
ditumbuk halus dan disaring dengan penyaring. Hasil saringan kemudian diambil 1
gram untuk dilakukan uji kelarutan.
Uji
kelarutan. Uji kelarutan dilakukan dengan sebelumnya menibang kertas saring
terlebih dahulu (w1). Sampel PMM yang telah ditimbang sebanyak 1 gra dilarutkan
dengan 10 ml akuades kemudian disaring dengan kertas saring. Kertas saring dan
endapan ditimbang (w2). Kertas saring dan endapan kemudian dimasukkan ke dalam
oven suhu 105oC selama 24 jam, kemudian ditimbang kembali (w3).
Hasil kelarutan PMM ditentukan dari rumus:
%
kelarutan =
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Poultry
Meat Meal merupakan bahan pakan dengan kualitas protein yang tinggi yang
dihasilkan khusus dari hasil tambahan ternak ayam (tidak termasuk bulu).
Definisi Poultry Meat Meal menurut
Lutfie (1997), PMM terbuat dari hasil penggilingan yang bersih bagian-bagian
ayam yang gagal produksi, dipotong dan diolah dengan antioksidan segera setelah
pemrosesan untuk menjamin stabilitas ternak.
Berikut adalaha komposisi bahan pembuat
PMM yang digunakan selama praktikum dan hasil uji kelarutannya:
Tabel 6. Komposisi bahan pembuat PMM dan hasil uji kelarutan
Parameter
|
A
|
B
|
Berat awal kepala ayam (gr)
|
380
|
380
|
Beratsetelah dari autoklaf (gr)
|
380
|
280
|
Berat setelah dicacah (gr)
|
380
|
280
|
Berat setelah keluar dari oven (gr)
|
100
|
100
|
Berat setelah digiling (gr)
|
30,28
|
36,35
|
Berat kertas saring awal (w1) (gr)
|
0,42
|
0,48
|
Berat kertas saring awal (W2) (gr)
|
1,11
|
1,39
|
% Kelarutan
|
31
|
9
|
Pembuatan
poultry meat meal dilakukan dengan
cara kepala dan leher ayam dipisahkan dari kulit kemudian dipresto. Berat awal
kepala ayam sampel A dan sampel B secara berurutan yaitu sama 380 gram,
setelah dimasukkan autoklaf sampel A tetap 380 gram sedangkan sampel B berubah
menjadi 280 gram. Panci presto sendiri berfungsi untuk melunakkan kepala ayam
dan mensterilkan bahan yang digunakan dari bakteri atau mikroorganisme.
Pengovenan sampel berfungsi untuk menghilangkan atau mengurangi kadar air, yang
terdapatdalam sampel, setelah pengovenan selesai dilakukan proses penghalusan
dan penumbukkan serta dilanjutkan uji kelarutan. Hasil yang diperoleh dari
persen kelarutan sampel, dimana sampel A 31% sedangkan sampel B 9%. Kelarutan yang tinggi menunjukkan kecernaan yang
tinggi apabila diberikan pada ternak. Parakhasi (1995), menyatakan bahwa
substansi tepung daging memperlihatkan peningkatan kecernaan selulosa yang
cukup tinggi. Kualitas tepung daging yang dihasilkan tergantung dari komposisi
bahan asal, metode dan suhu pembuatannya.
Parakhasi (1995), menyatakan bahwa uji kelarutan bertujuan untuk
mengetahui sampel yang lolos, dimana sampel sampel yang lolos dari uji
kelarutan bisa dicerna. Berdasarkan hasil yang diperoleh pada saat praktikum
apabila diobandingkan dengan literatur yang ada sampel A lebih bagus dari pada
sampel B karena persentase kalarutan sampel A lebih besar sehingga sampel yang
bisa dicerna lebih banyak.
Menurut Kamal (1999), air
dalam analisis proksimat adalah semua cairan yang menguap pada pemanasan
beberapa waktu pada suhu 100 sampai 1050C dengan tekanan udara bebas
sampai sisanya yang tidak menguap lagi mempunyai bobot tetap. Penentuan kadar
air dari suatu bahan bertujuan untuk menentukan kadar bahan kering suatu bahan.
Bahan kering sangatlah penting karena bobot bahan kerimg akan digunakan sebagai
standar bobot untuk penentuan kadar fraksi lainnya.
Prinsip dari pelunakan
tulang dalam autoklaf adalah dengan menggunakan uap dan tekanan yang bersuhu
tinggi. Wirakartakusumah et al.
(1992), menyatakan bahwa dalam pemanasan langsung, medium pemanas kontak
langsung dengan produk. Kontak ini dapat dilakukan dengan injeksi uap dan infusi
produk. Kontak ini melalui sistem injeksi uap panas disemprotkan kedalam aliran
produk pada ruang injeksi, suhu uap sekitar 140-160 0C dan waktu
tinggal (holding time) sekitar 4
detik suhu produk mencapai 137-138 0C. Pada sistem infusi, produk
didispersikan kedalam ruang infusi yang berisi uap panas. Tujuan pelunakan ini
adalah untuk mempermudah dalam proses selanjutnya yaitu penggilingan.
Pada proses penggilingan
dengan menggunakan grinder, tulang dipecah menjadi bagian-bagian yang lebih
kecil. Wirakartakusumah et al. (1992)
menyatakan bahwa proses pengecilan ukuran ini bertujuan untuk mempebesar luas
permukaan. Luas permukaan yang lebih besar dapat membantu kelancaran beberapa
proses seperti mempercepat waktu pengeringan, mempercepat proses pencernaan,
mempercepat kelarutan.
Pembuatan poultry
meat meal (PMM) dengan menggunakan kepala ayam dipisahkan antara lemak dan
kulitnya sehingga yang dipakai hanya tulang dan dagingnya. Hal tersebut
dilakukan untuk mengurangi lemak yang dapat menyebabkan ransiditas (ketengikan). Kenaikan bilangan peroksida merupakan
indikator bahwa lemak atau minyak akan menjadi tengik.
KESIMPULAN
Berdasarkan
hasil praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa PMM merupakan
bahan pakan dengan protein tinggi yang dihasilkan sebagai hasil tambahan dari
ternak ayam. Pembuatan PMM menggunakn prinsip pelunakan tulang menggunakan
autoklaf yang memanfaatkan uap dan tekanan tinggi. Kelarutan PMM semakin tinggi
maka PMM sebagai bahan pakan semakin baik kecernaanya pada tubuh ternak. Berdasarkan
praktikum pembuatan PMM dapat disimpulkan bahwa berat awal kepala ayam sama
yaitu 380 gr, berat setelah autoklaf sampel A tetap 380 gr sedangkan sampel B
280 gr. Persen kelarutan sampel A lebih tinggi dari sampel B sehingga sampel A
lebih banyak yang bisa dicerna. Kelarutan sampel A sebesar 31% dan sampel B
sebesar 9%. Kelarutan yang tinggi menunjukkan kecernaan
yang tinggi apabila diberikan pada ternak.
Daftar
Pustaka
Anonimus.2013. http://www.bioadi.com/indonesia/product2.php#top. Diambil pada 12 November 2013. Pukul 19.00 WIB.
Kamal, M. 1998. Bahan Pakan
dan Formulasi Ransum. Fakultas Petrnakan UGM. Yogyakarta.
Kementerian Pertanian.2011. Bahan Baku Pakan Ternak Dan Metode Pemeriksaannya
Yang Dilakukan Di Laboratorium Karantina Hewan BBKP Tanjung Priok .Sumber
Berita : Bidang Karantina Hewan.
Lutfie,M. 1997.
Teknologi Penyamakan Kulit. BBKP. Yogyakarta.
Parakkasi, A. 1995.
Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. Universitas Indonesia. Jakarta.
Wirahartakusumah,
A.Subarna,M. Arpah, D.Syah, dan S.I.Budiwati. 1992.Peralatan dan Unit Proses
Industri Pangan. Departemen Pndidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. IPB.Bogor.
Lampiran perhitungan:
% Kelarutan A =
1 gram – (W2-W1)x 100%
1 gram
=
1 gram – 0,69 x 100% = 31%
1gram
% Kelarutan B =
1 gram – (W2-W1)x 100%
1 gram
=
1 gram – 0,91 x 100% = 9%
1 gram
ACARA
V
HIDROLISIS
PROTEIN KULIT MENGGUNAKAN ENZIM
TINJAUAN
PUSTAKA
Protein
merupakan molekul yang esensial dalam penyusunan struktur maupun proses
fungisional tubuh pada seluruh mahluk hidup. Protein terdiri atas rantai asam
amino yang dihubungkan dengan ikatan peptida sehingga membentuk beragam
struktur tang kompleks. Reaksi hidrolisis protein bertujuan untuk mengubah
protein menjadi bentuk yang lebih sederhana, yaitu asam amino dan peptida,
sehingga lebih mudah dimanfaatkan oleh tubuh. Hidrolisis protein dapat
dilakukan dengan beberapa metode, yaitu hidrolisis asam, basa dan enzimatis.
Setiap protein akan menghasilkan campuran atau proporsi asam amino yang khas
setelah reaksi hidrolisis (Vaclavik dan Christian, 2008).
Menurut
BD Biosciences (2009), hidrolisis protein menggunakan enzim proteolitik
merupakan cara yang lebih efisien dan aman karena dapat menghasilkan
hidroksilat protein yang terhindar dari kerusakan asam amino tertentu akibat
penggunaan asam kuat, basa kuat maupun suhu tinggi pada reaksi hidrolisis asam
maupun basa. Reaksi hidrolisis protein menggunakan enzim akan memutus ikatan
peptida yang ditargetkan secara spesifik. Hal tersebut dipengaruhi karena sifat
dari enzim yang bekerja spesifik pada bagian tertentu.
Dijelaskan lebih lanjut menurut Winarno
(1995), enzim proteolitik dapat digolongkan menjadi dua golongan besar yaitu
golongan eksopeptidase yang memotong ikatan peptida dari arah gugus karboksil
dan gugus terminal, sedangkan golongan endopeptidase memecah protein ikatan
peptida dari dalam. Enzim papain termasuk ke dalam jenis enzim proteasse
golongan endopeptidase. Menururut Muchtadi et
al. (1992), papain merupakan protein sederhana yang berupa sebuah rantai
tunggal yang terdiri dari 212 asam amino dengan berat molekul 21.000 dalton.
Papain tidak mengandung karbohidrat dan tersusun dari hampir semua asam amino
kecuali metionin. Papain mempunyai gugus sulfhidril sebagai gugus esesnsial
untuk aktivitasnya. Papain mampu menghidrolisis protein dan peptida menjadi
asam amino, khususnya yang melibatkan asam amino arigin, lysine, glutamin,
histidin, glysine dan tyrosin. Papain digunakan untuk memecah atau mengurai
protein secara sempurna karena mampu mengkatalisis reaksi hidrolisis suatu
substrat.
MATERI
DAN METODE
Materi
Alat. Alat-alat yang digunakan dalam
praktikum hidrolisis protein menggunakan enzim antara lain silet, pisau,
timbangan, piring, gelas, ukur, plastik, kertas saring, gunting, pH meter,
autoklaf, oven, saringan, dan water bath.
Bahan. Bahan-bahan yang digunakan pada
praktikum hidrolisis protein menggunakan enzim papain, reagen C dan E, ceker
ayam, akuades, HCl 1 N, dan Buffer P.
Metode
Kulit
ceker dibersihkan dari lemak dan daging.
Kulit dicacah kecil-kecil lalu ditimbang 50 gr, kemudian ditambah aquades 100
ml dan dichooping selama 5 menit. Ekstrak kulit kemudian dihomogenkan selama 10
menit. Ekstrak kulit disaring sampai 10 ml, pH diatur sampai menjadi 2 sampai
6. pH diatas 7 dapat ditambah dengan HCl sedangkan pH yang terlalu rendah dapat
ditambah dengan NaOH. Enzim papain sebanyak 0,1 gr dan diinkubasi pada suhu 60oC
di dalam waterbath. Rekasi dihentikan dengan pemanasan pada suhu 95oC
selama 10 menit. Ekstrak tersebut kemudian didinginkan dan ditambah dengan
reagen C dan E sebanyak 0,5 ml dan ditunggu selama 30 menit dan dibaca
absorbansinya.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan
praktikum yang telah dilakukan diperoleh data sebagai berikut:
Tabel 7. Hasil Analisis Hidrolisis Protein Kulit Menggunakan Enzim
Parameter
|
A
|
B
|
|
|
|
Berat ceker ayam
|
0,50 Kg
|
0,50 Kg
|
Berat kulit ceker ayam
|
50 gr
|
50 gr
|
Warna sampel setelah dicopping
|
Keruh
|
Keruh
|
Warna sampel homogenisasi
|
Coklat keputihan
|
Coklat keputihan
|
HCN 1 N
|
-
|
-
|
Suhu inkubasi di dalam waterbath
|
60 sampai 95 °C
|
60 sampai 95 °C
|
Warna sampel setelah inkubasi
|
Agak kekuningan
|
Agak kekuningan
|
Warna sampel
pemanasan 95°C
|
Agak kekuningan
|
Agak kekuningan
|
Warna sampel setelah penyaringan
|
Agak bening
|
Agak bening
|
Warna sampel ditambah reagen C
|
Agak bening
|
Agak bening
|
Warna sampel ditambah reagen Z
|
Berubah biru
|
Berubah biru
|
Nilai absorbansi TP
10X
100X
|
1,715
0,508
0,170
|
1,959
0,453
0,233
|
Konsentrasi TP
10x
100x
|
1,7426
0,4001
0,0243
|
2,0137
0,3385
0,9011
|
Bahan
utama yang digunakan dalam acara hidrolisis protein kulit dengan enzim papain
adalah cakar ayam. Cakar ayam ternyata mempunyai kandungan nutrisi yang cukup
tinggi. Menurut Widyastuti et al. (2004),
ceker ayam (shank) adalah suatu
bagian dari tubuh ayam yang kurang diminati, yang terdiri atas komponen kulit,
tulang, otot, dan kolagen sehingga perlu diberikan sentuhan teknologi untuk
diolah menjadi produk yang memiliki nilai tambah. Ceker ayam selama ini baru
dimanfaatkan sebagai campuran sup dan
krupuk ceker. Nilai tambah dari kedua produk tersebut masih rendah. Salah satu
komponen ceker ayam berpotensi untuk dikembangkan adalah kulit kaki ayam
mengingat memiliki komposisi kimia yang mendukung seperti kadar air 65,9%;
protein 22,98%; lemak 5,6%; abu 3,49%; dan bahan-bahan lain 2,03%. Tingginya
kandungan protein pada kulit kaki ayam khususnya protein kolagen, membuka
peluang untuk diekstraksi agar dihasilkan produk gelatin.
Berdasarkan pengamatan yang
telah dilakukan selama praktikum enzim papain aktif pada pH 2 sampai 7. Suhu
yang optimum untuk enzim papain berkisar antara 60 sampai 80oC.
Menurut Widyastuti et al. (2004),
enzim papain mampu menghidrolisis 80% protein ikan pada suhu 55oC.
Pada suhu 70oC enzim papain keaktifannya menurun 20%. pH juga
merupakan faktor yang terpenting dalam menentukan kerja enzim. Enzim papain
memiliki daya katalitik yang baik pada pH 5 dan pada pH 7 keaktifannya menurun
20%. Ditambahkan oleh Muchtadi et al. (1992),
enzim papain aktif optimum pada suhu 40oC tidak aktif pada suhu 75oC
sampai 85oC. Oleh sebab itu dipilih suhu 95oC untuk
menghentikan seluruh aktivitas enzim secara total.
Metode pengujian protein
dalam praktikum ini menggunakan metode lowry. Metode lowry memanfaatkan
terjadinya perubahan warna larutan dari
hasil reaksi dengan reagen C dan E, kemudian warna tersebut dibaca panjang
gelombangnya menggunakan alat spektrofotometer. Hasil pengamatan menunjukkan
warna biru dengan nilai absorbansi tanpa pengenceran sebesar 1,959 dan 1,715.
Menurut Herowati (2010), metode lowry mengkombinasikan penggunaan pereaksi
biuret dengan pereaksi lain (folin-ciocalteau phenol) yang bereaksi dengan
residu tyrosin dan trypthopan dalam protein. Reaksi ini menghasilkan warna
kebiruan yang bisa dibaca pada 500 sampai 700 nm, tergantung sensivitas yang
dibutuhkan.
Nilai absorbansi berbanding lurus dengan
konsentrasi sehingga menunjukkan grafik linier. Nilai absorbansi sampel A tanpa
pengenceran yaitu 1,715 dan sampel B 1,959. Pengenceran 10X pada sampel A
menghasilkan absorbansi 0,508 dan sampel B 0,453. Pengenceran 100X pada sampel
A menghasilkan absorbansi 0,170 dan
sampel B 0,233. Konsentrasi tanpa pengenceran sampel A sebesar 1,7426 dan
sampel B 2,0137. Pengenceran 10X menghasilkan konsentrasi 0,4001 pada sampel A
dan sampel B 0,3385. Konsentrasi dengan pengenceran 100X sampel A 0,0243 dan
sampel B 0,9011. Menghasilkan persamaan y=-0,859X + 2,440.
Salah satu cara pemanfaatan
protein tersebut dengan cara hidrolisis enzim. Hidrolisis adalah proses
pemecahan molekul kompleks menjadi molekul lebih sederhana dengan bantuan air.
Hirolisis protein bertujuan untuk memutus ikatan antara residu asam amino
tertentu dalam protein sehingga menghasilkan rantai peptida yang lebih pendek.
Hirolisis protein dapat dilakukan dengan menggunakan larutan asam atau basa dan
dengan enzim. Penggunaan asam atau basa dalam hidrolisis enzim dapat
menyebabkan kerusakan beberapa asam amino tertentu. Dengan pertimbangan
tersebut maka hidrolisis enzim yang paling tepat digunakan karena enzim tidak
dapat merusak asam amino tertentu terutama asam amino yang mudah rusak dengan
asam atau basa kuat. Enzim yang sering digunakan yaitu papain (Andiani, 2004).
KESIMPULAN
Hidrolisis protein menggunakan enzim papain efektif
dilakukan pada suhu 55 sampai 60oC dan pH mendekati netral. Enzim
papain efektif digunakan untuk menghidrolisis protein dan kemudian
dimanfaatkan. Enzim papain berfungsi untuk menghidrolisis
protein yang ada dalam kulit ceker. Praktikum yang dilakukan sesuai dengan
literatur yang ada yaitu dimana pada saat hidrolisis protein oleh enzim papain
pH diatur mendekati 7, apabila belum sampai 7 ditambahkan HCl atau NaOH. Suhu
saat inkubasi yaitu suhu dalam waterbath 60°C, reaksi dihentikan pada saat suhu 95°C yang dimaksudkan
agar enzim tidak bisa bekerja
lagi. Nilai absorbansi berbanding lurus dengan konsentrasi sehingga menunjukkan
grafik linier. Nilai absorbansi sampel A tanpa pengenceran yaitu 1,715 dan sampel
B 1,959. Pengenceran 10X pada sampel A menghasilkan absorbansi 0,508 dan sampel
B 0,453. Pengenceran 100X pada sampel A menghasilkan absorbansi 0,170 dan sampel B 0,233. Konsentrasi tanpa
pengenceran sampel A sebesar 1,7426 dan sampel B 2,0137. Pengenceran 10X menghasilkan
konsentrasi 0,4001 pada sampel A dan sampel B 0,3385. Konsentrasi dengan
pengenceran 100X sampel A 0,0243 dan sampel B 0,9011. Menghasilkan persamaan y=-0,859X
+ 2,440.
Daftar
Pustaka
Andiani, A.L. 2004.
Evaluasi ketersediaan protein pupa ulat sutera yang dihidrolisis menggunkan
enzim papain sebagai bahan pakan ayam broiler. Universitas Diponegoro.
Semarang.
BD Bioscciences.
2009. Hydrolisis to hydrolysate. http://bdbiosciences.com diakses pada tanggal
20 Oktober 2013.
Herowati,
R. 2010. Analisis Makanan 2 Analisis Prootein. Journal of Food Science and
Technology 37:559-566.
Muchtadi, D. N.S.
Palupi dan M. Astawan. 1992. Enzim dalam industri pangan. Pusat antar
universitas pangan dan gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Vaclavik V.A. dan
Chrostian E.W. 2008. Essential of food sciences Ed ke-3. Springer. New york.
Widyastuti, E.S.,
L.E. Radiati, Imam T., M.E. Sawitri dan K.U. Al Awwaly. 2004. Kajian suhu dan
pH hidrolisis enzimatik dengan papain amobil terhadap pH, total gula dan warna
kecap cakar ayam. Jurnal Ternak Teopika Vol. 12 No.1 63-71.
Winarno, F.G. 1995.
Enzim pangan. Gramedia. Jakarta.
Lampiran
Tidak ada komentar:
Posting Komentar