Translate

Senin, 04 Agustus 2014

laporan praktikum bakso

LAPORAN PRAKTIKUM
ILMU DAN TEKNOLOGI DAGING




Disusun oleh:
Adam Gemilang
12/331527/PT/06219
Kelompok X
Asisten: Ayu Rachmi Saraswati

 






























LABORATORIUM PANGAN HASIL TERNAK
BAGIAN TEKNOLOGI HASIL TERNAK
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2013


MATERI DAN METODE

Materi

Alat. Alat yang digunakan dalam praktikum pembuatan produk bakso adalah pisau, telenan, timbangan elektrik, grinder, stuffer, kompor, panci dan nampan.
Bahan. Bahan yang digunakan dalam praktikum pembuatan produk bakso adalah daging sapi, es batu, tepung bakso (misonyal), bawang merah goreng, tepung tapioka, merica,dan bawang putih.

Metode

Daging sapi sebanyak 250 gram yang telah dibersihkan dari jaringannya dipotong-potong dan digiling halus. Bahan-bahan yang ditambahkan berupa garam 0,75 gram, bawang merah goreng 10 gram, tepung tapioka 62,5 gram, merica 5 gram, bawang putih 5 gram, setelah semua bahan ditambahkan, dimasukkan air es sebanyak 75 gram dicampur hingga homogen, adonan yang sudah jadi dibentuk bulat-bulat. Bola-bola bakso dimasukkan dalam air mendidih dan ditunggu hingga mengapung.
            Pengujian yang dilakukan untuk produk bakso yaitu uji organoleptik dan uji keempukan.
            Uji Organoleptik. Produk bakso diuji organoleptik sesuai dengan kriteria yang ada dan dibandingkan dengan kontrol produk yang berasal dari pabrik.
Uji Keempukan. Pengukuran keempukan dilakukan dengan menggunakan alat penetrometer merk K. I. C dengan beban seberat 10 g. Sampel diletakkan dibawah jarum penetrometer, jarum penunjuk disiapkan pada angka nol. Besarnya angka keempukan dapat diketahui dengan membaca angka pada alat yang dikalikan dengan 1/10 nm.



HASIL DAN PEMBAHASAN
            Berdasarkan praktikum pembuatan produk bakso diperoleh data sebagai berikut.
Tabel 1. Bahan pembuatan bakso
No.
Bahan
Berat
presentase
1
Daging sapi
250 gram

2
Garam
10 gram
4%
3
Merica
3 gram
1,2%
4
Bawang putih
1,5 gram
0,6%
5
Bawang merah goreng
10 gram
4%
6
Misonyal
0,75 gram
0,5%
7
Tepung tapioka
62,5 gram
25%
8
Air es
75 gram
30%




Total
412,75 gram
65,3%
           
Bakso daging menurut SNI No. 01-3818-1995 adalah produk makanan berbentuk bulatan atau lain yang diperoleh dari campuran daging ternak (kadar daging tidak kurang dari 50%) dan pati atau serealia dengan atau tanpa bumbu BTP (Bahan Tanpa Pangan) yang diizinkan. Pembuatan bakso biasanya menggunakan daging segar. Daging segar (prerigor) adalah daging yang diperoleh setelah pemotongan hewan tanpa mengalami proses pendinginan terlebih dahulu. Fase pre-rigor berlangsung selama 5 sampai 8 jam setelah postmortem. Bakso dapat dikelompokan menurut jenis daging yang digunakan dan berdasarkan perbandingan jumlah tepung pati yang digunakan. Berdasarkan jenis daging sebagai bahan baku untuk membuat bakso maka dikenal bakso sapi, bakso ayam, bakso ikan, bakso kerbau, dan bakso kelinci (Gaffar, 1998).
            Komposisi bakso. Bakso ditemukan pertama kali didaerah cina pada 3000 SM. Bahan – bahan bakso terdiri atas bahan utama dan bahan tambahan. Bahan utama dari produk bakso ini adalah daging sedangkan bahan tambahan yang digunakan adalah bahan pengisi garam, air es, bumbu – bumbu seperti lada,  serta bahan penyedap (Sunarlim, 1992). 


            Berdasarkan hasil praktikum diperoleh daging beratnya 250 gram. Daging menurut SNI – 01 – 3947 – 1995 adalah urat daging yang melekat pada kerangka kecuali urat daging dari bagian bibir, hidung, telinga yang berasal dari hewan sehat pada saat dipotong (Dewan Standarisasi Nasional, 1995). Daging adalah salah satu dari produk pangan yang mudah rusak disebabkan daging kaya zat yang mengandung nitrogen,mineral, karbohidrat, dan kadar air yang tinggi serta pH yang dibutuhkan mikroorganisme perusak dan pembusuk untuk pertumbuhannya (Komariah, 2004). Organ – organ misalnya hati, ginjal, otak, paru – paru,jantung, limpa, pankreas, dan jaringan otot termasuk dalam definisi ini (Soeparno, 2005).
            Berdasarkan praktikum diperoleh berat garam yaitu 10 gram dan presentasenya 4%. Sunarlim (1992) menyatakan bahwa hasil olahan daging biasanya mengandung 2 sampai 3% gram. Aberle et al (2001), menanbahkan bahwa garam yang di tambhakan pada daging yang digiling akan meningkatkan protein myofibril yang terekstraksi. Protein ini memiliki perasaan penting sebagai pengemulsi. Fungsi garam adalah menambahkan atau meningkatkan rasa dan memperpanjang umur simpan produk.
            Berdasarkan praktikum diperoleh berat air es yaitu 75 gram dan presentasenya 30%. Peningkatan suhu selama proses pelumatan daging akan mencairkan es atau air juga penting untuk menjaga kelembapan produk akhir agar tidak kering. Meningkatkan sari minyak dan keempukan daging (Forrest et al, 1995). Salah satu tujuan penambahan air dan es pada produk emulsi daging adalah menurunkan panas produk yang dihasilkan akibatkan gesekan selama penggilingan, melarutkan dan mendistribusikan garam keseluruh bagian massa daging secara merat, mempermudah ekstraksi protein otot, membantu proses pembentukan emulsi, dan mempertahankan suhu adonan agar tetap rendah. Jika panas ini berlebihan maka emulsi akan pecah, karena panas yang terlalu tinggi mengakibatkan terjadinya denaturasi protein, akibatnya produk tidak akan bersatu selama pemasakan (Aberle et al, 2001).
              Berdasarkan praktikum diperoleh berat merica 3 gram dan presentasenya 1,2%. Merica adalah buah dari tanaman Pipernigrum L dan memiliki rasa yang sangat pedas (pengerit) dan berbau (aromatik). Rasa pedas dihasilkan oleh zat piperin dan aroma sedih dihasilkan oleh terpen. Merica mengandung minyak esesnsial 1% sampai 27% (Wargiono, 1999).
            Berdasrakan praktikum didapatkan bawang putih 1,5 gram dan presentasenya 0,6%. Bawang putih merupakan bahan alami yang biasa ditambahkan dalam makanan atau produk sehingga diperoleh aroma yang khas guna meningkatkan selera makan. Bau yang khas dari bawang putih berasal dari minyak volatile yang mengandung komponen sulfur. Karakteristis bawang putih akan muncul dengan sendirinya apabila terjadi pemotongan atau perusakan jaringan. Bawang putih dapat menghasilkan enzim alicin dimana enzim tersebut berperan dalam memberi aroma bawang putih serta merupakan salah satu zat aktif anti bakteri. Bawang putih mengandung sekitar 0,1% sampai 0,25% zat volatile, yaitu akil sulfide yang terbentuk secara enzimatik ketika butiran umbi bawang putih dihancurkan (Brandly, 1996).
            Berdasarkan praktikum tepung tapioka beratnya 62,5 gram dan presentasenya 25%. Tepung tapioka adalah tepung yang berasal dari singkong. Tepung tapioka adalah kerbohidrat granuleryang berwarna putih, hasil sintesa tanaman dari berbagai gugus glukosa yang berfungsi sebagai bahan makanan cadangan. Tepung ini terdiri dari amilosa dan amilopektin, sifat aminopektin dapat memperkuat permukaan terhadap bahan yang ditambahkan (Wargiono, 1999). Menurut Cahyadi (2006), secara umu pati terdiri dari 25% amilosa dan 75% amilopektin, karena daya serap air yang cukup tinggi pada tepung tapioka, tepung ini biasanya digunakan untuk campuran bakso. Agar lezat dan bermutu tinggi. Jumlah tepung sebaiknya tidak lebih dari 15% dari berat daging (Wibowo, 2006).
            Berdasarkan uji sensoris pada pembuatan produk bakso diperoleh sebagai berikut.
Tabel 2. Uji organoleptik bakso
No.
Parameter
Hasil Praktikum
Kontrol
1
Warna
Abu-abu
Abu-abu pucat
2
Rasa
Cukup enak
Enak
3
Tekstur
Kasar
Halus
4
Keempukan
Empuk
Cukup empuk
5
Daya terima
Cukup diterima
Diterima
           
Warna. Berdasarkan praktikum diperoleh bakso yang warnanya pucat dan kontrol putih pucat. Adanya perbedaan ini disebabkan karena adanya formulasi yang tergantung pada karakteristik komposisi dan bahan dasar yang ditambahkan pada produk daging proses (Soeparno, 2005).
            Rasa. Berdasarkan praktikum diperoleh rasa asin dan enak rasa dan aroma adalah hasil kombinasi faktor – faktor yang melibatkan empat basis sensasi (asin, manis, asam, pahit) oleh ujung – ujung syaraf permukaan lidah (soeparno, 1998).
            Tekstur. Berdasarkan praktikum dieroleh tekstur bakso yang kasar  dibandingkan dengan kontrol. Menurut Mead dan Richardson (2003), tingkatan kontraksi otot merupakan variabel yang dapat mempengaruhi tingkat kelembutan daging.
            Keempukkan. Berdasrakan praktikum digunakan alat penetrometer merek K. I. C didapatkan hasilnya adalah lembek sedangkan kontrol kenyal. Penambahan filler dapat mempengaruhi keempukan daging disamping berfungsi uniformitas atau keseragaman produk daging (Forrest et al, 1995). Tiga komponen utama daging yang andil terhadap keempukan atau kecoklatan yaitu, jaringan ikat, serabut – serabut otot dan jaringan adipose (Soeparno, 1991). Dan daya terima bakso setelah diuji dapat diterima karena rasanya sama dengan variabel kontrol yang tersedia.
            Berdasarkan uji pH pembuatan produk bakso diperoleh sebagai berikut.
Tabel 3. Uji pH bakso
No.
Sampel
pH
I
II
III
Rata-rata
1.
Kelompok 10
6,5
6,2
6,3
6,33
2.
Kelompok 9
6,1
6,0
6,0
6,03
           
Uji pH. Berdasarkan praktikum didapatkan data rata – rata pH adalah bakso kelompok 10 adalah 6,33 sedangkan bakso kelompok 9 adalah 6,03. Menurut Soeparno (2005), derajat keasaman (pH) mempunyai pengaruh terhadap mutu daging. Daging yang derajat keasmannya 5,1 sampai 6,1 berwarna merah cerah, cita rasa baik, tidak mudah rusak, dan punya struktur yang terbuka sedangkan daging yang mempunyai pH 6,2 sampai 7,2 berwarna merah tua, rasanya kurang enak lebih mudah busuk dan strukturnya padat (Soeparno,2005).
Menurut Soeparno (1998), faktor yang mempengaruhi pH daging adalah perlakuan pemasakan terhadap daging menjadi daging olahan yang mengakibatkan kenaikan pH daging, karena pemasakan akan mengurangi gugus asidik sehingga titik isoelektrik daging akan berubah dan berada pada pH yang lebih tinggi. pH bakso berkisar antara 5,5 sampai 7,2 (Bourne, 2002). Berdasarkan hasil uji pH bakso yang dilakukan saat praktikum, pH bakso yang dibuat oleh kedua kelompok berada pada kisaran normal sesuai dengan literatur.
           


Berdasarkan uji keempukan pada pembuatan produk bakso diperoleh sebagai berikut.
Tabel 4. Uji keempukan bakso
No.
Sampel
Keempukkan
I
II
III
Rata-rata
1.
Kelompok 10
19
19
19
44,3
2.
Kelompok 9
21
21
21
49

                   Uji keempukkan. Berdasarkan praktikum didapatkan data sebagai berikut, uji keempukan hanya dilakukan sekali saja hasilnya bakso 10 adalah dan bakso 9 dengan rata – rata 44,3 dan 49. Menurut Soeparno (1998), keempukan daging adalah kualitas daging setelah dimasak berdasarkan kemudahan untuk dikunyah tanpa kehilangan sifat dan jaringan yang layak. Penilaian keempukan daging dapat dilakukan secara objektif dan subyektif. Penilaian secara objektif meliputi metode pengujian secara fisik dan kimia, sedangkan secara objektif menggunakan metode panel test. Ada tiga faktor yang mempengaruhi proses keempukan daging ketika daging dimasak yaitu mencairnya lemak, berubahnya kolagen menjadi gelatin dan putusnya serabut oto sehingga menjadi lebih empuk. keberadaan air dalam daging atau produk mempengaruhi tingkat keempukan. Nilai kecepatan tembus/penetrasi bakso menggunakan daging dari bagian karkas yang berbeda berkisar antara 8,87 sampai 9,93. Berdasarkan hasil uji keempukan yang diperoleh saat praktikum, nilai keempukan bakso tidak sesuai dengan literatur. Menurut Soeparno (1998), faktor yang berpengaruh terhadap nilai keempukan adalah jaringan ikat dan lemak marbling yang terdapat dalam produk, juga temperatur yang mempunyai pengaruh bervariasi terhadap daya ikat air oleh protein daging, susut masak, pH, dan kadar jus daging.


KESIMPULAN

                   Berdasarkan hasil praktikum dapat disimpulkan bahwa warna bakso hasil praktikum yaitu abu pucat, sedangkan pada control putih pucat, rasa bakso hasil praktikum gurih, tekstur kasar, empuk dan daya terima suka. Nilai pH bakso hasil praktikum yaitu 6,3. Nilai pH bakso dapat dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya yaitu penyimpanan daging setelah pemotongan serta proses pemasakan dan lama pemasakan. Nilai keempukan bakso hasil praktikum yaitu 19, keempukan bakso dipengaruhi oleh keberadaan air dalam daging atau produk.


DAFTAR PUSTAKA

Aberle, H. B. Forrest, j. C., E. D. Hendrick., M. D. Judge dan R. A. Merkel. 2004. Prinaple Of Meat Science. 4 th Edit. Kendal/Hunt Publishing. Lowa.
Brandly, P. J. Migafi. G. Taylor. K. E. 1996. Meat Hygiene, 3rd Edit. Lea and Febiger. Philadelphid.
Bourne, M. C. 2002. Food Texture and Viscosity: Concept and Measurement. 2nd ed. Academic Press, An Elsivier Science Imprint. London.
Cahyadi, W. 2006. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. PT. Bumi Aksara. Jakarta.
Dewan Standarisasi Nasional 1995. SNI 01 – 3818, Bakso Daging. Dewan Standarisasi Nasional. Jakarta.
Forrest, J. G., E. D. Alberle., H. B. Hendrick., M. D. Judge dan R. A. Merkel. 1975. Principles of Meat Science. W. H. Freeman, San Fansisco.
Gaffar, R. 1998. Sifat fisik dan palatabilitas bakso daging ayam dengan bahan pengisi tepung sagu dan tepung tapioca. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Komariah, I. I. Arief, & Y. Wiguna. 2004. Kualitas Fisik dan Mikroba Daging Sapi yang Ditambah Jahe (Zingiber officinale Roscoe) pada Konsentrasi dan Lama Penyimpanan yang Berbeda. Media Peternakan. 27(2): 46-54.
Mead, G. C. Dan Richadson, R. i. 2003. Poultry Meat Science Volume 25. CABI Publishing. New york. USA.
Soeparno. 1998. Ilmu Otot dan Daging. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Soeparno. 1998. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan Ketiga. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan Keempat. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Sunarlim, R. 1992. Karakteristik mutu bakso daging sapi dan pengaruh penambahan natrium klorida dan natrium tripolifosfat terhadap perbaikan mutu. Disertasi. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Wargiono, J. 1999. Ubikayu dan Cara Bercocok Tanamnya. Lembaga Pusat Penelitian Pertanian, Bogor.

Wibowo, Singgih. 2006. Pembuatan Bakso Ikan dan Bakso Daging . PenebarSwadaya. Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar