LAPORAN PRAKTIKUM
ILMU DAN TEKNOLOGI DAGING
|
LABORATORIUM
PANGAN HASIL TERNAK
BAGIAN
TEKNOLOGI HASIL TERNAK
FAKULTAS
PETERNAKAN
UNIVERSITAS
GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2013
MATERI DAN METODE
Materi
Alat.
Alat yang digunakan dalam praktikum pembuatan produk bakso adalah pisau, telenan,
timbangan elektrik, grinder, stuffer,
kompor, panci dan nampan.
Bahan.
Bahan yang digunakan dalam praktikum pembuatan produk bakso adalah daging sapi, es batu, tepung
bakso (misonyal), bawang merah goreng, tepung tapioka, merica,dan bawang putih.
Metode
Daging sapi
sebanyak 250 gram yang telah dibersihkan dari jaringannya dipotong-potong dan
digiling halus. Bahan-bahan yang ditambahkan berupa garam 0,75 gram, bawang
merah goreng 10 gram, tepung tapioka 62,5 gram, merica 5 gram, bawang putih 5
gram, setelah semua bahan ditambahkan, dimasukkan air es sebanyak 75 gram
dicampur hingga homogen, adonan yang sudah jadi dibentuk bulat-bulat. Bola-bola
bakso dimasukkan dalam air mendidih dan ditunggu hingga mengapung.
Pengujian yang dilakukan untuk
produk bakso yaitu uji organoleptik dan uji keempukan.
Uji
Organoleptik. Produk bakso diuji organoleptik sesuai dengan kriteria yang ada
dan dibandingkan dengan kontrol produk yang berasal dari pabrik.
Uji Keempukan.
Pengukuran keempukan dilakukan dengan menggunakan alat penetrometer merk K. I. C dengan beban seberat 10 g. Sampel
diletakkan dibawah jarum penetrometer,
jarum penunjuk disiapkan pada angka nol. Besarnya angka keempukan dapat diketahui dengan membaca
angka pada alat yang dikalikan dengan 1/10 nm.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan praktikum pembuatan
produk bakso diperoleh data sebagai berikut.
Tabel 1. Bahan pembuatan bakso
No.
|
Bahan
|
Berat
|
presentase
|
1
|
Daging sapi
|
250 gram
|
|
2
|
Garam
|
10 gram
|
4%
|
3
|
Merica
|
3 gram
|
1,2%
|
4
|
Bawang putih
|
1,5 gram
|
0,6%
|
5
|
Bawang merah
goreng
|
10 gram
|
4%
|
6
|
Misonyal
|
0,75 gram
|
0,5%
|
7
|
Tepung tapioka
|
62,5 gram
|
25%
|
8
|
Air es
|
75 gram
|
30%
|
|
|
|
|
Total
|
412,75 gram
|
65,3%
|
Bakso
daging menurut SNI No. 01-3818-1995 adalah produk makanan berbentuk
bulatan atau lain yang diperoleh dari campuran daging ternak (kadar daging
tidak kurang dari 50%) dan pati atau serealia dengan atau tanpa bumbu BTP
(Bahan Tanpa Pangan) yang diizinkan. Pembuatan bakso biasanya menggunakan
daging segar. Daging segar (prerigor) adalah daging yang diperoleh setelah
pemotongan hewan tanpa mengalami proses pendinginan terlebih dahulu. Fase
pre-rigor berlangsung selama 5 sampai 8 jam setelah postmortem. Bakso dapat
dikelompokan menurut jenis daging yang digunakan dan berdasarkan perbandingan
jumlah tepung pati yang digunakan. Berdasarkan jenis daging sebagai bahan baku
untuk membuat bakso maka dikenal bakso sapi, bakso ayam, bakso ikan, bakso
kerbau, dan bakso kelinci (Gaffar, 1998).
Komposisi bakso. Bakso ditemukan
pertama kali didaerah cina pada 3000 SM. Bahan – bahan bakso terdiri atas bahan
utama dan bahan tambahan. Bahan utama dari produk bakso ini adalah daging
sedangkan bahan tambahan yang digunakan adalah bahan pengisi garam, air es,
bumbu – bumbu seperti lada, serta bahan
penyedap (Sunarlim, 1992).
Berdasarkan hasil praktikum diperoleh daging beratnya 250
gram. Daging menurut SNI – 01 – 3947 – 1995 adalah urat daging yang melekat
pada kerangka kecuali urat daging dari bagian bibir, hidung, telinga yang
berasal dari hewan sehat pada saat dipotong (Dewan Standarisasi Nasional,
1995). Daging adalah salah satu dari produk pangan yang mudah rusak disebabkan
daging kaya zat yang mengandung nitrogen,mineral, karbohidrat, dan kadar air
yang tinggi serta pH yang dibutuhkan mikroorganisme perusak dan pembusuk untuk
pertumbuhannya (Komariah, 2004). Organ – organ misalnya hati, ginjal, otak,
paru – paru,jantung, limpa, pankreas, dan jaringan otot termasuk dalam definisi
ini (Soeparno, 2005).
Berdasarkan praktikum diperoleh
berat garam yaitu 10 gram dan presentasenya 4%. Sunarlim (1992) menyatakan
bahwa hasil olahan daging biasanya mengandung 2 sampai 3% gram. Aberle et al (2001), menanbahkan bahwa garam
yang di tambhakan pada daging yang digiling akan meningkatkan protein myofibril
yang terekstraksi. Protein ini memiliki perasaan penting sebagai pengemulsi.
Fungsi garam adalah menambahkan atau meningkatkan rasa dan memperpanjang umur
simpan produk.
Berdasarkan praktikum diperoleh
berat air es yaitu 75 gram dan presentasenya 30%. Peningkatan suhu selama
proses pelumatan daging akan mencairkan es atau air juga penting untuk menjaga
kelembapan produk akhir agar tidak kering. Meningkatkan sari minyak dan
keempukan daging (Forrest et al,
1995). Salah satu tujuan penambahan air dan es pada produk emulsi daging adalah
menurunkan panas produk yang dihasilkan akibatkan gesekan selama penggilingan,
melarutkan dan mendistribusikan garam keseluruh bagian massa daging secara
merat, mempermudah ekstraksi protein otot, membantu proses pembentukan emulsi,
dan mempertahankan suhu adonan agar tetap rendah. Jika panas ini berlebihan
maka emulsi akan pecah, karena panas yang terlalu tinggi mengakibatkan
terjadinya denaturasi protein, akibatnya produk tidak akan bersatu selama
pemasakan (Aberle et al, 2001).
Berdasarkan praktikum diperoleh berat merica 3 gram dan presentasenya
1,2%. Merica adalah buah dari tanaman Pipernigrum
L dan memiliki rasa yang sangat pedas (pengerit) dan berbau (aromatik).
Rasa pedas dihasilkan oleh zat piperin
dan aroma sedih dihasilkan oleh terpen.
Merica mengandung minyak esesnsial 1% sampai 27% (Wargiono, 1999).
Berdasrakan praktikum didapatkan
bawang putih 1,5 gram dan presentasenya 0,6%. Bawang putih merupakan bahan
alami yang biasa ditambahkan dalam makanan atau produk sehingga diperoleh aroma
yang khas guna meningkatkan selera makan. Bau yang khas dari bawang putih
berasal dari minyak volatile yang mengandung komponen sulfur. Karakteristis
bawang putih akan muncul dengan sendirinya apabila terjadi pemotongan atau
perusakan jaringan. Bawang putih dapat menghasilkan enzim alicin dimana enzim tersebut berperan dalam memberi aroma bawang
putih serta merupakan salah satu zat aktif anti bakteri. Bawang putih
mengandung sekitar 0,1% sampai 0,25% zat volatile,
yaitu akil sulfide yang terbentuk secara enzimatik ketika butiran umbi
bawang putih dihancurkan (Brandly, 1996).
Berdasarkan praktikum tepung tapioka
beratnya 62,5 gram dan presentasenya 25%. Tepung tapioka adalah tepung yang
berasal dari singkong. Tepung tapioka adalah kerbohidrat granuleryang berwarna
putih, hasil sintesa tanaman dari berbagai gugus glukosa yang berfungsi sebagai
bahan makanan cadangan. Tepung ini terdiri dari amilosa dan amilopektin, sifat
aminopektin dapat memperkuat permukaan terhadap bahan yang ditambahkan
(Wargiono, 1999). Menurut Cahyadi (2006), secara umu pati terdiri dari 25%
amilosa dan 75% amilopektin, karena daya serap air yang cukup tinggi pada
tepung tapioka, tepung ini biasanya digunakan untuk campuran bakso. Agar lezat
dan bermutu tinggi. Jumlah tepung sebaiknya tidak lebih dari 15% dari berat
daging (Wibowo, 2006).
Berdasarkan uji sensoris pada
pembuatan produk bakso diperoleh sebagai berikut.
Tabel 2. Uji organoleptik bakso
No.
|
Parameter
|
Hasil
Praktikum
|
Kontrol
|
1
|
Warna
|
Abu-abu
|
Abu-abu
pucat
|
2
|
Rasa
|
Cukup
enak
|
Enak
|
3
|
Tekstur
|
Kasar
|
Halus
|
4
|
Keempukan
|
Empuk
|
Cukup
empuk
|
5
|
Daya
terima
|
Cukup
diterima
|
Diterima
|
Warna. Berdasarkan praktikum diperoleh bakso yang warnanya pucat
dan kontrol putih pucat. Adanya perbedaan ini disebabkan karena adanya
formulasi yang tergantung pada karakteristik komposisi dan bahan dasar yang
ditambahkan pada produk daging proses (Soeparno, 2005).
Rasa.
Berdasarkan praktikum diperoleh rasa asin dan enak rasa dan aroma adalah
hasil kombinasi faktor – faktor yang melibatkan empat basis sensasi (asin,
manis, asam, pahit) oleh ujung – ujung syaraf permukaan lidah (soeparno, 1998).
Tekstur.
Berdasarkan praktikum dieroleh tekstur bakso yang kasar dibandingkan dengan kontrol. Menurut Mead dan
Richardson (2003), tingkatan kontraksi otot merupakan variabel yang dapat
mempengaruhi tingkat kelembutan daging.
Keempukkan.
Berdasrakan praktikum digunakan alat penetrometer merek K. I. C didapatkan
hasilnya adalah lembek sedangkan kontrol kenyal. Penambahan filler dapat
mempengaruhi keempukan daging disamping berfungsi uniformitas atau keseragaman
produk daging (Forrest et al, 1995).
Tiga komponen utama daging yang andil terhadap keempukan atau kecoklatan yaitu,
jaringan ikat, serabut – serabut otot dan jaringan adipose (Soeparno, 1991).
Dan daya terima bakso setelah diuji dapat diterima karena rasanya sama dengan
variabel kontrol yang tersedia.
Berdasarkan uji pH pembuatan produk
bakso diperoleh sebagai berikut.
Tabel 3. Uji pH bakso
No.
|
Sampel
|
pH
|
|||
I
|
II
|
III
|
Rata-rata
|
||
1.
|
Kelompok 10
|
6,5
|
6,2
|
6,3
|
6,33
|
2.
|
Kelompok 9
|
6,1
|
6,0
|
6,0
|
6,03
|
Uji pH. Berdasarkan praktikum didapatkan data rata – rata pH
adalah bakso kelompok 10 adalah 6,33 sedangkan bakso kelompok 9 adalah 6,03.
Menurut Soeparno (2005), derajat keasaman (pH) mempunyai pengaruh terhadap mutu
daging. Daging yang derajat keasmannya 5,1 sampai 6,1 berwarna merah cerah,
cita rasa baik, tidak mudah rusak, dan punya struktur yang terbuka sedangkan
daging yang mempunyai pH 6,2 sampai 7,2 berwarna merah tua, rasanya kurang enak
lebih mudah busuk dan strukturnya padat (Soeparno,2005).
Menurut
Soeparno (1998), faktor yang mempengaruhi pH daging adalah perlakuan pemasakan
terhadap daging menjadi daging olahan yang mengakibatkan kenaikan pH daging,
karena pemasakan akan mengurangi gugus asidik sehingga titik isoelektrik daging
akan berubah dan berada pada pH yang lebih tinggi. pH bakso berkisar antara 5,5
sampai 7,2 (Bourne, 2002). Berdasarkan hasil uji pH bakso yang dilakukan saat
praktikum, pH bakso yang dibuat oleh kedua kelompok berada pada kisaran normal
sesuai dengan literatur.
Berdasarkan
uji keempukan pada pembuatan produk bakso diperoleh sebagai berikut.
Tabel 4. Uji keempukan bakso
No.
|
Sampel
|
Keempukkan
|
|||
I
|
II
|
III
|
Rata-rata
|
||
1.
|
Kelompok 10
|
19
|
19
|
19
|
44,3
|
2.
|
Kelompok 9
|
21
|
21
|
21
|
49
|
Uji keempukkan. Berdasarkan
praktikum didapatkan data sebagai berikut, uji keempukan hanya dilakukan sekali
saja hasilnya bakso 10 adalah dan bakso 9 dengan rata – rata 44,3 dan 49.
Menurut Soeparno (1998), keempukan daging adalah kualitas daging setelah
dimasak berdasarkan kemudahan untuk dikunyah tanpa kehilangan sifat dan
jaringan yang layak. Penilaian keempukan daging dapat dilakukan secara objektif
dan subyektif. Penilaian secara objektif meliputi metode pengujian secara fisik
dan kimia, sedangkan secara objektif menggunakan metode panel test. Ada tiga
faktor yang mempengaruhi proses keempukan daging ketika daging dimasak yaitu
mencairnya lemak, berubahnya kolagen menjadi gelatin dan putusnya serabut oto
sehingga menjadi lebih empuk. keberadaan
air dalam daging atau produk mempengaruhi tingkat keempukan. Nilai kecepatan
tembus/penetrasi bakso menggunakan daging dari bagian karkas yang berbeda
berkisar antara 8,87 sampai 9,93.
Berdasarkan hasil uji keempukan yang diperoleh saat praktikum, nilai keempukan
bakso tidak sesuai dengan literatur. Menurut Soeparno (1998), faktor yang
berpengaruh terhadap nilai keempukan adalah jaringan ikat dan lemak marbling yang terdapat dalam produk,
juga temperatur yang mempunyai pengaruh bervariasi terhadap daya ikat air oleh
protein daging, susut masak, pH, dan kadar jus daging.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil praktikum dapat disimpulkan
bahwa warna bakso hasil praktikum yaitu abu pucat, sedangkan pada control putih pucat,
rasa bakso hasil praktikum gurih, tekstur kasar, empuk dan daya terima suka.
Nilai pH bakso hasil praktikum yaitu 6,3.
Nilai pH bakso dapat dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya yaitu
penyimpanan daging setelah pemotongan serta proses pemasakan dan lama
pemasakan. Nilai keempukan bakso hasil praktikum yaitu 19, keempukan bakso
dipengaruhi oleh keberadaan air dalam daging atau produk.
DAFTAR PUSTAKA
Aberle, H. B. Forrest, j. C., E. D. Hendrick., M. D.
Judge dan R. A. Merkel. 2004. Prinaple Of Meat Science. 4 th Edit.
Kendal/Hunt Publishing. Lowa.
Brandly, P. J. Migafi. G. Taylor. K. E. 1996. Meat
Hygiene, 3rd Edit. Lea and Febiger. Philadelphid.
Bourne,
M. C. 2002. Food Texture and Viscosity: Concept and Measurement. 2nd
ed. Academic Press, An Elsivier Science Imprint. London.
Cahyadi, W. 2006. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan
Tambahan Pangan. PT. Bumi Aksara. Jakarta.
Dewan Standarisasi Nasional 1995. SNI 01 – 3818, Bakso
Daging. Dewan Standarisasi Nasional. Jakarta.
Forrest, J. G., E. D. Alberle., H. B. Hendrick., M. D.
Judge dan R. A. Merkel. 1975. Principles of Meat Science. W. H. Freeman, San
Fansisco.
Gaffar, R. 1998. Sifat fisik dan palatabilitas bakso
daging ayam dengan bahan pengisi tepung sagu dan tepung tapioca. Skripsi.
Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Komariah,
I. I. Arief, & Y. Wiguna. 2004. Kualitas Fisik dan Mikroba Daging Sapi yang
Ditambah Jahe (Zingiber officinale Roscoe) pada Konsentrasi dan Lama
Penyimpanan yang Berbeda. Media Peternakan. 27(2): 46-54.
Mead, G. C. Dan Richadson, R. i. 2003. Poultry Meat
Science Volume 25. CABI Publishing. New york. USA.
Soeparno.
1998. Ilmu Otot dan Daging. Fakultas
Peternakan Universitas
Gadjah Mada.
Yogyakarta.
Soeparno.
1998. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan Ketiga. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Soeparno.
2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan Keempat. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Sunarlim, R. 1992. Karakteristik mutu bakso daging
sapi dan pengaruh penambahan natrium klorida dan natrium tripolifosfat terhadap
perbaikan mutu. Disertasi. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Wargiono,
J. 1999. Ubikayu dan Cara Bercocok Tanamnya. Lembaga Pusat Penelitian
Pertanian, Bogor.
Wibowo,
Singgih. 2006. Pembuatan Bakso Ikan dan Bakso Daging . PenebarSwadaya.
Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar